tag:blogger.com,1999:blog-69462522992291257802023-06-20T21:23:41.574-07:00Catatan * AF LazuardiDalam hening tercipta sebuah karya. Dalam karya tercipta sebuah asa.Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-42121649938627500812011-07-29T06:06:00.000-07:002011-07-29T06:06:28.134-07:00Petite Histoire Himatika<div align="left"><em>R. Arif Firdaus Lazuardi –STI 44</em><br />
<br />
Petite histoire–sejarah kecil, begitulah Rosihan Anwar—wartawan senior, kolumnis, sejarawan ‘kaki lima’ menyebutnya. Sejarah kecil itu kadang terlupakan oleh kebanyakan orang. Padahal dari sejarah kecil itulah timbul sejarah-sejarah besar yang menjadi catatan dunia.</div><a name='more'></a><br />
<br />
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 telah terbingkai dalam sejarah. Sejarah bagi bangsa Indonesia; bagi rakyat, bagi mahasiswa, bagi penguasa. Sejarah perjuangan rakyat dalam mempertahankan haknya, sejarah pergerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim diktator, sejarah untuk mendidik para penguasa yang pongah dengan segala wewenang dan kuasanya; yang bermewahan di atas ribuan buliran keringat kaum miskin dan kaum papa.<br />
<br />
Beberapa tahun setelahnya, sejarah itu menyatu di setiap sendi kehidupan mahasiswa. Pada zaman dimana kebenaran tidak banyak diimpikan, kisah itu terus didengungkan dan dibanggakan. Seakan menjadi milik bersama, seakan menjadi kenangan bersama. Setiap sejarah yang ada selalu menimbulkan kisah tersendiri bagi setiap pemerhatinya. Semangat yang muncul dari sejarah adalah jiwa yang menyatu dengan para pelaku sejarah, kemudian akan lahir keinginan untuk menciptakan sejarah sendiri. Lantas hadirlah pelaku-pelaku sejarah baru guna menginspirasi sejarah berikutnya. Dengan begitu, sebuah sejarah pun terukir. Sejarah adalah proyeksi masa depan.<br />
<br />
<strong>Sejarah dalam Eksotisme</strong><br />
<br />
Malam itu bermula di sebuah warung kopi sederhana. Dengan kepulan asap rokok dan segelas teh perbincangan mengalir lancar, mencoba menguak beberapa petite histoire tentang Himatika—organisasi yang telah melahirkan 45 generasi saintis. Mas Teguh, alumni Himatika angkatan 2002, bertutur kisah tentang Himatika dengan santai dan penuh makna. Beberapa nama pelaku sejarah disebutkan, Mbak Tita; seorang aktivis gerakan ITS, Mas ‘Botol’; aktivis himpunan yang loyal, Mbak Putri; Kahima 2003 hingga Mas Fajar; Kahima 2004. Semakin malam, semakin terbuka beberapa tirai sejarah.<br />
<br />
Mas Teguh mengawali kisah dengan pergerakan mahasiswa di tahun 1998. Pasca reformasi, mahasiswa baru yang masuk setelah masa itu memang dipersiapkan untuk menjadi mahasiswa yang berani melawan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung rakyat dan sadar kapan waktu mahasiswa untuk memberikan perlawanan. Materi-materi kaderisasi semisal hakikat manusia, hakikat mahasiswa, dan hakikat perlawanan telah menjadi ruh pengkaderan ITS.<br />
<br />
Kegelisahan para aktivis era itu tentang rusaknya moral Sarjana Teknik yang sekedar menjadi robot dan budak kapitalisme membuat mereka jengah dan ingin mendobrak paradigma yang berlaku. Mahasiswa Baru (Maba) menjadi harapan besar untuk bisa merubah situasi yang ada, ideologi pun ditanamkan. Hingga sampailah saat ini kita merasa betapa beratnya sebuah proses kaderisasi.<br />
<br />
Waktu berlalu dengan segala kebijakannya, Himatika tidak lagi memberikan materi pengkaderan serupa. Entah bagi para pengurus Himatika, hal itu sengaja dilupakan atau memang mereka tidak paham esensi yang terkandung di dalamnya. Bisa juga, Maba yang saat itu—masih sebagai junior—hanya mengingat kejadian-kejadian yang kasat mata dan menjiplaknya saat menjadi “senior”. Misalnya ketika para senior memberi materi hakikat perlawanan; Maba dibentak, dicemooh, hingga ditampar oleh orang yang lebih berkuasa, harapannya adalah Maba menyadari bahwa ia ditindas dan berani untuk memberikan perlawanan sebagai bentuk ekspresi penolakan keadaan, dengan menyandang nilai-nilai hakikat mahasiswa.<br />
<br />
Tapi sayangnya, ketika Maba tersebut menjadi pengurus di kemudian hari, yang diingat hanyalah simulasi materi tanpa mengkaji substansi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ruh pengkaderan dari tahun ke tahun mengalami distorsi. Namun di saat generasi selanjutnya memberikan reaksi perlawanan dan akhirnya bertanya kebingungan, “ini pengkaderan atau perpeloncoan?” Saat itu—mungkin, para senior mencoba menutup diri dibalik jawaban kekakuan dan kesombongan.<br />
<br />
Dengan sedikit menyeruput teh untuk sekedar melepas dinginnya malam. Tema pun berlanjut ke topik yang berbeda. Di waktu Mas Teguh menjadi koordinator instruktur pengkaderan, ia sempat menggali keterangan dari sumber pelaku sejarah 1998. Tentunya terkait konsep seperti apa yang masih relevan dan sesuai dengan mahasiswa baru yang akan masuk. Tersimpulkan, bahwa sistem yang berlaku saat ini sudah tidak relevan lagi bagi mahasiswa. Karena masa-masa pendidikan dengan kekerasan—Hakikat manusia—sudah tidak efektif bahkan terkesan negatif di mata masyarakat, apalagi di kalangan mahasiswa saat ini. Mas Teguh diharapkan mampu membuat sebuah konsepsi baru yang cocok dengan generasi dan zamannya. Namun, hal tersebut belum sempat diwujudkan karena membutuhkan pendalaman pikiran dan tentunya waktu yang tidak sedikit. Sedangkan mahasiswa baru, beberapa bulan lagi sudah menapakkan kakinya di ITS.<br />
<br />
<strong>Zaman dan eksotismenya</strong><br />
<br />
Mau tidak mau, realitas yang terjadi saat ini memang membutuhkan sebuah konsepsi anyar. Tentunya dengan melahirkan kader-kader yang siap berjuang pada zamannya. Kaum intelektual—sebutan Bung Karno bagi mahasiswa—harus mampu menciptakan sebuah karya. Karena karya merupakan sandingan yang eksotis bagi sebuah peradaban yang bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak orang.<br />
<br />
Timbullah sebuah pemikiran untuk merealisasikan hal tersbebut; Pertama, dengan menghancurkan keberadaan sebuah konsep secara keseluruhan (yang lalu) dan membangunnya dari titik nol; seperti yang dilakukan oleh Gandhi dalam membangun budaya perdamaian di India. Kedua, dengan cara melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengkolaborasikan dengan inovasi yang baru, seperti pepatah arab alhifdzhu ‘ala al qadiimi as shoolih wa al akhdu bi al jadiidi al ashlahi. Atau yang ketiga, dengan kembali pada nilai-nilai dasar yang ada: restorasi nilai, seperti megahnya restorasi Republik Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Zedong.<br />
<br />
Semua tergantung atas kesepakatan teman-teman himpunan yang menjadi pengurus saat itu, pastinya berlandaskan asas kekeluargaan dan kebersamaan untuk merajut sebuah konsepsi yang layak dan tepat pada zamannya.<br />
<br />
Puluhan puntung rokok seakan belum cukup untuk menguak lebih dalam petite histoire Himatika, tentunya masih banyak misteri yang belum tersibak. Paling tidak, kita memiliki gambaran umum tentang nilai-nilai sejarah, untuk sebuah kata yang bernama ‘masa depan’; tentang upaya untuk menghadirkan karya-karya baru yang mutlak dibutuhkan masyarakat sebagai simbol sebuah peradaban.<br />
<br />
Sejarah merupakan proyeksi masa depan. Sejarah adalah bentuk-bentuk perlawanan. Sejarah adalah kita di masa lalu untuk masa yang akan datang.<br />
<br />
<em>“Karya adalah kegelisahan. Semakin gelisah seseorang; semakin tinggi emosinya untuk berkarya. Bergelisahlah terhadap segala sesuatu; sosial, budaya, lingkungan. Sebab karya adalah bentuk perlawanan yang eksotis.” -AFL-</em><br />
<br />
<em>Surabaya, 15 Juni. Dalam renungan senja.</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-84390300494860967022011-07-29T06:03:00.000-07:002011-07-29T06:03:50.396-07:00Himatika: Dulu, Kini, dan Esok<em>R. Arif Firdaus Lazuardi-STI 44</em><br />
<br />
Kaum intelektual tidak dicetak untuk menjadi robot. Ia lahir dari ketidakberdayaan dan tumbuh bersama perjuangan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan peradaban bangsa dan negara. Dan kewajibannya pun tidak hanya sekedar berkutat di dalam kelas, belajar dan belajar. Lebih dari itu, seorang kaum intelektual -yang penulis kerucutkan dengan mahasiswa- memiliki keharusan untuk memberikan karya yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Minimal, seorang mahasiswa memberikan yang terbaik untuk dirinya sendiri.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Atas dasar itulah peran sebuah organisasi dalam kehidupan mahasiswa sangat penting. Di kampus kita, ITS, organisasi kemahasiswaan wujudnya beragam dan mewakili berbagai elemen. Dalam lingkup jurusan, dikenal sebuah wadah organisasi yang dinamai Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Wadah dimana para mahasiswa dapat menyalurkan keinginannya untuk berorganisasi.<br />
<br />
Himpunan Mahasiswa Matematika (Himatika) merupakah salah satu organisasi yang merepresentatifkan hal tersebut. Sebagai salah satu organisasi yang ada di tingkat jurusan, mayoritas mahasiswa beraspirasi dan mengapresiasikan segala bentuk kreatifitasnya dalam wadah tersebut. Dan sudahkah wadah tersebut berjalan semestinya? Menjadi tempat yang bisa mewakili keinginan mahasiswa. Dan menjadi kebanggaan setiap mahasiswa dalam sejarah hidupnya. Serta memberikan inspirasi tiada henti kepada tiap mahasiswa.<br />
<br />
<strong>Himatika yang Lalu</strong><br />
<br />
Berbicara mengenai sejarah, tentu tidak berujung. Keterbatasan literatur dan cerita dari pelaku sejarah menjadi kendala bagi seorang yang ingin menggali kisah dan kenangan di dalamnya. Penulis bukanlah bagian dari sejarah itu, dan tidak mewakili begitu banyak referensi yang bisa menjadi sumber utama untuk digali kearifannya.<br />
<br />
Paling tidak, penulis merasakan, melaksanakan, dan menganalisa kehidupan dalam himpunan saat masih menjalani proses calon -kader anggota himpunan. Penulis melihat kondisi himpunan yang tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Kesenjangan sosial, peng-kotak-an kasta, secara tidak langsung terjadi pada lingkup masyarakat himpunan. Seringkali pertanyaan timbul, tapi tak ada jawaban yang logis dan dapat diterima. Sebenarnya penulis sangat mengharapkan penjelasan dari para anggota himpunan yang lebih senior, tapi yang didapat hanyalah kekakuan dan kesombongan.<br />
<br />
Akhirnya kesan yang ada adalah sebagian orang-orang himpunan saat itu adalah orang-orang yang konservatif (kolot), yang hanya melaksanakan segala bentuk kegiatan berdasarkan tradisi tanpa memaknai lebih dalam esensinya. Dan mereka pun terjebak dengan kekolotannya tanpa mau membuka sedikit ke-legowo-an dan pemikiran yang terbuka atas kondisi yang ada.<br />
<br />
Mahasiswa baru (Maba) yang kritis terhadap keadaan seringkali diidentikan dengan para pembangkang atau pemberontak, yang jika memang tidak suka, dipersilahkan untuk mengambil jalan lain. Maka, kader-kader yang tersisa adalah kader-kader yang ada karena keterpaksaan atau ketidakmampuan untuk keluar dari belenggu pembodohan dan pemaksaan kehendak.<br />
<br />
Dengan begini, penulis bisa membayangkan bagaimana kondisi himpunan ke depan. Karena mereka yang lalu adalah mereka untuk masa depan. Dan apa yang dilakukan dahulu tidak akan jauh berbeda dengan yang akan dilakukan kelak.<br />
<br />
<strong>Bagaimana Saat Ini?</strong><br />
<br />
Kondisi kehidupan kampus saat ini sangatlah nyaman dengan segala fasilitas lengkap yang membuat mahasiswa betah berhari-hari lamanya di kampus. Kelas ber-AC, ruang himpunan yang dilengkapi ragam fasilitas, sinyal wi-fi dimana-mana, dsb. Menjadikan mahasiswa lupa akan keharusannya untuk tetap peka dan peduli terhadap segala permasalahan, baik yang terjadi di lingkungan terdekat maupun yang lebih luas. Isu kenaikan SPP, kaderisasi diharamkan untuk mahasiswa baru di tahun pertama, hingga hal yang berkaitan langsung dengan mahasiswa pun (amandemen Mubes III) seakan menjadi barang yang tidak menarik dan tidak perlu diambil pusing.<br />
<br />
Wajar saja jika hal ini terjadi, karena kenyamanan tersebut sudah merasuk di tiap individu mahasiswa. Sehingga timbulah pemikiran pragmatis yang membuat mahasiswa bisu dan acuh dengan kondisi sekitar. Belum lagi ditambah dengan kegiatan akademik yang membuat mahasiswa tidak memiliki waktu luang untuk memikirkan kegiatan di luar kepentingan kuliahnya.<br />
<br />
Hal ini akhirnya berpengaruh pada model kepengurusan himpunan dalam menjalankan roda aktifitas kemahasiswaannya. Program kerja (proker) yang menjadi senjata himpunan dalam ke-eksis-annya tidak tajam kembali. Karena ketumpulan pemikiran para pelaku proker yang melaksanakan kegiatan tersebut, hanya dipenuhi rasa sebatas menjalankan proker, ketika usai kegiatan selesai sudah segala perkara. Atau lebih kasar penulis sebut, “yang penting prokernya jalan”. Sehingga esensi mengapa proker itu ada tidak pernah didiskusikan dan dikaji secara mendalam. Alhasil, meskipun semua proker-proker hebat berhasil dilaksanakan. Mahasiswa tidak banyak mendapatkan manfaat darinya, mungkin hanya cerita lucu dan pengalaman pahit ketika menghadapi permasalahan dalam proker tersebut, selebihnya tidak begitu dipahami dan dimengerti.<br />
<br />
Mungkin himpunan hanya dijadikan wadah untuk melampiaskan emosi individu dan kepentingan pribadi mahasiswa. Bukan pengabdian total yang dilakukan demi terciptanya pribadi yang baik dan asas kebermanfaatan yang langsung dirasakan oleh orang luar selain dirinya.<br />
<br />
Sebenarnya di titik inilah peran mahasiswa senior mengingatkan kondisi yang telah menyimpang dari tujuan awal. Tapi sayang, tidak begitu banyak senior yang paham dan sadar betul posisinya sebagai anggota himpunan untuk terus mengontrol keadaan dan menjadi penyeimbang suhu jika terjadi suatu kondisi yang tidak semestinya terjadi, meskipun masa kepengurusannya telah lewat. Dan penulis pikir, hal inilah yang terjadi di beberapa tahun terakhir, jika keadaan yang seperti ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan bahwa kekeroposan kader Himatika terus bertambah dan tinggal menunggu waktu ketika pondasi Himatika tidak kuat lagi menampung beban.<br />
<br />
<strong>Cita Himpunan kelak!</strong><br />
<br />
Berbicara masa depan, berarti berbicara mengenai regenerasi. Bagaimana kita bisa menjadi dan menghasilkan kader yang memiliki pemahaman kuat terhadap himpunan, loyalitas tinggi, dan dedikasi tiada tara kepada himpunan hingga kelak mereka mampu dan mau memberikan semua yang dimilikinya untuk kemajuan Himatika?<br />
<br />
Jelas bahwa tiap mahasiswa memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Disinilah peran himpunan untuk memberikan kesempatan pada tiap mahasiswa untuk mengenal dan mengembangkan potensi masing-masing. Harapannya kelak adalah para mahasiswa mengerti kadar personal dan bisa memiliki suatu cita dan harapan berdasarkan kemampuan yang dimiliki.<br />
<br />
Jika sudah diketahui potensi diri mahasiswa, akan menjadi mudah bagi pengurus himpunan untuk merancang suatu kegiatan, baik intra maupun ekstra kampus. Yang berujung pada pengabdian totalitas kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Dari pemikiran tiap mahasiswa yang berhimpun itu, akan timbul sebuah kesadaran nurani tentang hakikat sesuatu yang dikerjakan.<br />
<br />
Maka usaha penulis kelak adalah membuat suatu konsep kaderisasi yang mampu merealisasikan kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Semisal keteladanan yang diberikan mahasiswa senior di himpunan, menghargai kebebasan berpikir tiap mahasiswa, dan menanamkan mental berani berpendapat dan berkreasi serta rasa tanggung jawab yang besar terhadap setiap permasalahan. Dengan metode seperti itulah akan lahir calon penerus generasi bangsa yang memiliki daya juang tinggi dan tidak gampang terpengaruh oleh keadaan yang melemahkannya.<br />
<br />
Sedang untuk mempertajam ‘taring’ himpunan, perlu diadakannya suatu kegiatan yang meningkatkan kemampuan intra dan ekstra personal anggota himpuan. Perluasan wawasan dan ketajaman intelektual adalah modal utama untuk bisa bertahan dari terpaan angin yang kencang. Diskusi-diskusi, kepekaan sosial, dan inisiatif individu harus dibudayakan agar tercipta suatu iklim himpunan yang kondusif, dimana mahasiswa yang bergerak di dalamnya adalah mahasiswa yang kreatif, inovatif, dan solutif yang mampu berprestasi. Tentunya prestasi tidak hanya diukur dari banyaknya kertas bertanda tangan dan piala yang bergelantungan. Melainkan keikhlasan para anggota himpunan untuk terus bekerja dan mengabdi kepada masyarakat tanpa mengharapkan pamrih sedikit pun, itu adalah prestasi di atas luar biasa.<br />
<br />
“TUNDUK TERTINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN. KARENA MUNDUR ADALAH PENGKHIANATAN”<br />
<br />
<em>Dalam kos, 10 Juni 2011 </em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-82506247056106818992011-07-29T06:00:00.000-07:002011-07-29T06:00:48.310-07:00Politik, Ormek, Ad Hoc; Tim Ad Hoc atau Tim Ormek<em>*R Arif Firdaus Lazuardi-Langkah Awal ITS</em><br />
<br />
“Politik itu tahi kucing.” (Herman Lantang)<br />
<br />
Begitulah kiranya cuplikan dialog Herman Lantang kepada Soe Hok Gie dalam film Giekarya Riri Riza saat dirinya dipaksa oleh Soe Hok Gie untuk mencalonkan diri menjadi ketua Senat Fakultas Sastra UI.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tidaklah berlebihan, jika Herman Lantang memandang politik sebagai hal yang busuk. Menurut berbagai definisi para ahli, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Menurut Isjware, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan, pembentukan dan penggunaan kekuasaan.<br />
<br />
Di negara kita, para pelaku politik praktis (politikus) sehari-harinya menjadi “badut” di layar televisi dan memberikan lelucon miris kepada masyarakat.<br />
<br />
Semisal kasus Antasari Azhar, tren badut politikus ini mulai menjamur, masyarakat disuguhi berbagai dinamika sandiwara politik yang menyerang sana ― menyerang sini. Berlanjut dengan Susno Duadji yang mengungkap kebobrokan hukum Indonesia dan menyerang stabilitas politik negara. Belum lagi ditambahi oleh tingkah anggota DPR yang menurut (alm) Gus Dur, “kayak anak TK saja”.<br />
<br />
Drama politik dapat dilihat secara langsung ketika anggota DPR bertingkah layaknya anak kecil dalam kasus hak angket Century. Kemudian anggota dewan yang melihat film porno ketika sidang DPR, padahal ia merupakan salah satu anggota dari fraksi Partai -Tuhan- Keadilan Sejahtera. Belum lagi anggota DPR yang berbohong memberikan alamat email kosong kepada wartawan.<br />
<br />
Dilanjutkan pernyataan lucu namun tragis yang disampaikan oleh ketua DPR, Marzuki Alie, “Hanya orang-orang elite yang bisa diajak membahas pembangungan gedung DPR, rakyat kecil jangan diajak ikut campur memikirkan biaya gedung, mereka sudah susah untuk mencari makan.” Dan terakhir adalah kasus Nazarudin yang membuat seluruh anggota Partai -Agung- Demokrat kepanasan.<br />
<br />
Demikianlah sekelumit adegan badut politikus dan partai politiknya menghiasi kehidupan rakyat Indonesia.<br />
<br />
<strong>Bagaimana Politik dalam Kampus</strong><br />
<br />
Kehidupan kampus seringkali diidentikan dengan miniatur kehidupan bernegara. Layaknya sebuah Negara; terdiri dari beberapa aparatur pemerintahan dan rakyat. Ada beberapa kursi kekuasaan yang selalu diperebutkan berbagai pihak dengan beragam kepentingan. Di sinilah peran partai politik untuk memperebutkan, mempertahankan, dan melanggengkan kekuasaan. Dan rakyat dijadikan objek potensial untuk menjadi modal dukungan suara ke partai-partai.<br />
<br />
Tak ayal, dalam setiap Pemilu; baik Kepala Negara dan Kepala Daerah, bertebaran obralan janji partai dan calon wakil rakyat di relung-relung perkotaan, di pelosok pedesaan. Yang pada akhirnya pasti berujung dusta ketika Pemilu usai. Dan rakyat? hanya bisa mengeluh dan menggelengkan kepala.<br />
<br />
Mungkin hal itulah, yang membuat mahasiswa—rakyat di kampus “jengah” dengan kondisi tersebut. Dan enggan untuk berpolitik praktis dalam kampus. Tapi realitanya, para mahasiswa mau tidak mau, harus bersinggungan dengan politik. Karena setiap tahun, pasti terjadi regenerasi dalam organisasi kemahasiswaan baik tingkat institut, fakultas, maupun jurusan. Politikus negara sering memanfaatkan momentum ini sebagai pembelajaran politik kepada mahasiswa. Mereka pun membentuk bermacam “kaki” partai politik dalam bentuk Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek).<br />
<br />
Seperti yang tercatat dalam situs wikipedia, pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), sejarah mencatat ada beberapa Ormek yang menjadi kaki-kaki partai politik. Semisal PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) dengan Partai Katholik, GMNI (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dekat dengan PNI, CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dekat dengan PKI, Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia) dengan PSI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) berafiliasi dengan Partai NU, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan Masyumi, dan lain-lain. Gerakan Ormek tersebut seringkali menodai pemikiran idealis mahasiswa, karena di berbagai kasus ditunggangi oleh kepentingan partai politik di atasnya.<br />
<br />
Pada tahun 1966, ketika gerakan mahasiswa melebur menjadi satu dan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk menentang orde lama dan berhasil menggulingkannya. Beberapa mahasiswa angkatan ’66 mendapat hadiah politik untuk duduk dalam lingkar kekuasaan orde baru. Kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh mahasiswa dalam Ormek seperti Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dll. Namun ada seseorang yang tetap pada idealisnya untuk tidak mencicipi kenikmatan kekuasaan. Ia terkenal dengan semboyan “lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan”. Soe Hok Gie namanya.<br />
<br />
Demikianlah sekilas kisah Ormek dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Hingga kini, bermunculan Ormek baru seiring partai politik yang menjamur di Negara kita. Semisal KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang dekat dengan PKS.<br />
<br />
Walaupun pada tahun 2002, Dirjen Dikti (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi) mengeluarkan SK (Surat Keputusan) No. 26/DIKTI/KeP/2002 Tentang PELARANGAN ORGANISASI EKSTRA KAMPUS ATAU PARTAI POLITIK DALAM KEHIDUPAN KAMPUS. Ormek-Ormek masih bisa bernafas dan mencari para kadernya di kampus dengan mendirikan basecamp yang dekat dengan lokasi kampus dan terus eksismelaksanakan pelatihan kader dalam berbagai bentuk. Terkadang mereka menggunakan Jarkom SMS dan selebaran yang ditempel di jurusan ataupun spanduk yang dipajang di depan gerbang kampus untuk menjaring kader.<br />
<br />
<strong>Bagaimana keadaan ITS</strong><br />
<br />
Beberapa tahun terakhir ini, tidak banyak mahasiswa ITS yang mengetahui sejarah pergerakan mahasiswa dan dinamika Ormek di dalamnya. Tapi di beberapa kampus lain, semisal IAIN Surabaya yang menerapkan sistem partai politik kampus dalam tata organisasi kemahasiswaannya. Ormek sudah bukan merupakan barang asing lagi. Karena mereka ada di belakang partai-partai kampus. Sehingga mahasiswa bisa terjun langsung berpolitik praktis di partai kampus. Ketika dilangsungkannya Pemira di kampus tersebut hampir tidak dapat dihindari konfrontasi yang dilakukan mereka—tentunya dengan berbagai alasan.<br />
<br />
Di ITS, berdasarkan Mubes III yang ditetapkan pada tahun 2001, organisasi mahasiswa berpusat pada kantong-kantong Himpunan, BEM fakultas, dan BEM institut. Sedang mahasiswa yang ingin mengembangkan minat bakatnya pada bidang seni, olahraga, dan penalaran bisa menyalurkannya di LMB, atau lebih tepatnya di UKM yang bersangkutan.<br />
<br />
Menuju Mubes IV Keluarga Mahasiswa ITS 2011, Tim Ad Hoc yang diberi wewenang oleh Legislatif Mahasiswa ITS untuk menyusun draft rancangan Mubes IV justru mengeluarkan isu strategis akan dibentuknya sistem politik partai kampus. Dengan dasar pemikiran untuk memberikan penyadaran dan pendewasaan politik ke seluruh mahasiswa ITS.<br />
<br />
Pertanyaannya, benarkah hal demikian yang dimaksud Tim Ad Hoc atau ada kepentingan lain yang menungganginya?<br />
<br />
Indikasi bahwa kepentingan Ormek ingin melebarkan sayapnya dalam sejarah pergerakan mahasiswa ITS timbul akibat isu tersebut. Karena saat ini Ormek tidak begitu bebas mencari kader baru dalam kampus, apalagi pihak Birokrasi ITS juga mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru tidak boleh bersinggungan dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan di tahun pertama mereka belajar.<br />
<br />
Sebelumnya, berbagai macam cara mereka lakukan. Kader-kader Ormek berhasil menempati beberapa posisi strategis dalam kemahasiswaan ITS. Semisal menjabat sebagai Presiden BEM, Ketua Hima, maupun staf-staf penting dalam organisasi tersebut. Dengan adanya partai politik kampus, maka kesempatan mereka untuk memasukkan kepentingannya ataupun kepentingan partai politik di atasnya lebih mudah dan terbuka lebar.<br />
<br />
Berdasarkan catatan yang saya miliki. Tim Ad Hoc saat ini yang berjumlah 17 mahasiswa, 10 diantaranya adalah anggota Ormek. Sedangkan lebih dari 2 orang tim pengawal yang berasal dari perwakilan BEM, LM, MKM, LMB, dan LSM adalah anggota Ormek. Nah, terkait dengan isu dibentuknya sistem partai politik kampus. Tentunya saya tidak berani menjamin. Apakah kelak partai politik kampus benar menjadi media pembelajaran dan pendewasaan politik mahasiswa? Atau sekedar sarana agar teman-teman Ormek dengan mudah “mengakomodasikan” kepentingannya?<br />
<br />
<em>Dalam ruang kos 3x3 m^2, 30 Mei 2011</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-67976119463613102442011-07-29T05:56:00.000-07:002011-07-29T06:07:49.808-07:00Dan Inilah, Sebenarnya Indonesiaku<i>*R. Arif Firdaus Lazuardi-Teater Tiyang Alit ITS</i><br />
<br />
Antara tanggal 15-24 April 2011, saya dan 13 mahasiswa ITS lainnya berkesempatan untuk menggali kearifan budaya di Palembang dalam rangka Festival Teater Mahasiswa Naisonal (festamasio ) V yang diselenggarakan oleh Teater Gabi Universitas Sriwijaya. Perjalanan Surabaya-Palembang jalur darat selama 3 hari 2 malam. Kemudian merasakan terik mentari dan sepoian ramah angin malam kota“ampera” selama 6 hari. Dan akhirnya kembali ke hingar bingar kota yang terkenal dengan ikon ‘suro’ dan ‘boyo’ 3 hari berikutnya. Menyadarkan saya akan kekayaan warna, keberagaman budaya, dan kesenjangan status sosial masyarakat. Yang akhirnya berujung pada satu pernyataan “Inilah Sebenarnya Indonesiaku”.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Pukul 14.00 lebih sedikit, kereta Gaya Baru Malam Selatan jurusan Pasar Turi (Surabaya) – Senen (Jakarta) melaju –kadang cepet, kadang lelet- membelah jalanan kota dan sawah pedesaan. Di atas mesin tua inilah ratusan orang kelas ekonomiberlatar belakang menengah ke bawah tumpah ruah menjadi satu. Ragamnya suku, budaya, usia, pekerjaan tak lagi menjadi penghalang untuk berbaur. Saling memperebutkan sedikit celah bangku-bangku tua dan ruang-ruang kosong di sudut gerbong. Bilik ponten pun menjadi harapan untuk sedikit melepas lelah. Sejenak kemudian, ratusan suara menggema memenuhi relung udara; ada yang menjajakan makanan, minuman, pakaian, mainan, alat dapur, alat kesehatan, atau hanya sekedar jeritan lara anak-anak jalanan, pengamen, bahkan pidato keagamaan. Semua bercampur aduk. Menawarkan kejujuran batin anak bangsa. Mengharapkan sedikit sisa kasih yang ada. “Dan inilah, sebenarnya Indonesiaku”.<br />
<br />
Saat kereta mengakhiri perjalanan di stasiun Jatinegara, Jakarta, saya mendaratkan seluruh memoar unik semalaman di kereta. Dan me-refresh kembali intuisi yang masih tersisa. Karena fenomena baru pasti akan membanjiri kotak memori yang tersedia.<br />
<br />
Bermula dari seorang pengamen yang merenggangkan kedua kakiknya dan bersuara“ngah-ngah-ngah” tak jelas sambil membolak-balikkan telunjuk tangan. Ia pun mengais sisa rezeki dari penumpang bus kota. Dan begitulah cara hidupnya untuk bertahan dari ancaman jiwa yang setiap saat bisa tamat, tanpa diketahuinya. Sedang di samping jalanan, gedung-gedung menjulang tinggi, mall-mall mewah bertebaran, mobil-mobil menderukan gaung mesin dengan angkuhnya. “Apakah ini sebenarnya Indonesiaku?”.<br />
<br />
Setelah menyeberangi selat sunda dan menyusuri jalanan pulau Sumatera kurang lebih 12 jam. Akhirnya saya tiba juga di ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, yang di akhir tahun nanti menjadi tuan rumah Sea Games 2011. Di berbagai kantor dan ruang publik lainnya selalu ramai dengan bendera negara ASEAN. Ramah masyarakat menyambut pendatang. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang aksen ‘a’nya diganti ‘o’ tapi berbeda logat dengan bahasa Padang, percakapan ringanpun bergulir. Beberapa kebanggan kotanya diceritakan; dari Pasar 10 Ulu, Hutan Wisata Punti Kayu, Benteng Kuto Besak, Danau Wisata Kambang Iwak, Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II dan terakhir; ikon yang paling dibanggakan adalah Jembatan Ampera. Jembatan yang penduduk kotanya memberi slogan “kebanggan wong kito” itu sangat menarik. Terkadang saya mendengar tambahan kata ‘gelo’ di akhir slogan itu yang berarti “kebanggaan kita semua”. “Dan inilah, sebenarnya Indonesiaku”.<br />
<br />
Festamasio V dihelat di kota yang terkenal dengan “empek-empek” ini selama 7 hari. Dan karena itulah, saya dan beberapa anggota Teater Tiyang Alit ITS Surabaya bisa tiba di kota ini. Melihat rumah Limas, jembatan Ampera, sungai Musi dan bertemu dengan teman-teman Nusantara; Teater Nol Unsyiah Aceh, Teater Rumah Teduh Univ Andalas Padang, Teater Talas Unismuh Makassar, Teater Sisi UMSU Medan, Teater Lakon UPI Bandung, Teater Gajah Mada UGM Yogyakarta, Teater Sirat IAIN Surakarta, Teater Komsan STAIN Pontianak dan puluhan komunitas teater lainnya.Sebuah pementasan yang paling berkesan dari Teater Gajah Mada Yogyakarta, berkisah tentang seorang penjual mainan tradisional, yang semakin hari sepi pembeli.Ia-pun bermimpi bertemu dengan segerombolan anak dan bermain permainan tradisional. Seperti ‘cublak-cublak suwung’, ‘ular naga’, ‘delek-delekan’, ‘lompat tali’, dsb. Ketika terbangun kembali, sang istri tergopoh-gopoh mendatanginya dan berkata, “ada tamu yang datang, sepertinya sih ia mau membeli tanah kita untuk nantinya dibangun gedung permainan modern.” “Apakah ini sebenarnya Indonesiaku?”.<br />
<br />
Banyak hal yang saya temui selama perjalanan. Menyaksikan keramahan orang Indonesia di berbagai tempat. Kekayaan alam yang melimpah ruah. Keunikan bahasa dan budaya di setiap jengkal tanah Indonesia. Budaya ‘nrimo’ yang dihadirkan masyarakat kecil. Membuat beberapa pertanyaan dan pernyataan yang timbul dari pikiran saya. Bertanya tentang hal “apakah ini Indonesiaku” ataupun mengeluarkan pernyataan “inilah Indonesiaku”. Membuat kearifan tersendiri dalam warna masyarakat Indonesia. Adapun hal lain yang diramaikan anggota DPR tentang pembangunan gedung mewah senilai 1,1 triliun “itu bukanlah Indonesiaku”. Masalah kemiskinan yang hingga saat ini belum terselesaikan, pendidikan mahal yang biayanya selalu naik setiap tahun, dan kesehatan yang langka bagi warga tak mampu di dusun-dusun terpencil. Dengan hati berontak saya katakan, “ITU BUKAN INDONESIAKU”.<br />
<br />
<i>Markas Tiyang Alit, 2 Mei 2011</i>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-50782102288019147452011-07-29T05:53:00.000-07:002011-07-29T05:53:35.548-07:00Mungkin, Ini Cara Tuhan Mendidik Manusia<em>R Arif Firdaus Lazuardi-Langkah Awal ITS</em><em><br />
</em><em><br />
</em><em> "Mendidik manusia dengan kekhawatiran dan ketakutan……</em><br />
<em>Menggenggam kebersahajaan dengan kegagalan dan kekecewaan…….."</em><br />
<br />
Beberapa dari kita, lebih mementingkan dan melihat, tentang apa yang dapat dicapai, berhasil atau tidak. Bukan dari bagaimana proses yang dijalani, hingga ia dapat mencapai yang diinginkannya. Maka, tak ayal seringkali kita terjebak dengan kondisi hasil yang ada, hingga berlarut-larut memikirkan tentang suatu hal yang harus dilakukan agar hasil yang didapat sempurna. Bahkan, kita pun terkesan menggunakan segala cara –entah baik atau jelek- untuk meraih hasil yang diinginkan. Dan parameter keberhasilan pun begitu pula adanya. Tergantung hasil akhir yang ada.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dalam dunia pendidikan formal, misalnya. Seorang anak dikatakan cerdas apabila ia memiliki nilai rapor yang tinggi. Atau seorang mahasiswa dinobatkan cumlaude, jika indeks prestasinya di atas 3,5 (skala 4). Sehingga, tiap individu manusia berlomba-lomba untuk bisa meraih posisi yang demikian. Hal ini tidak hanya berlaku pada peserta didik saja. Elemen lainnya pun –guru, dosen, orang tua- yang turut mendukung dalam dunia pendidikan ini terseret arus yang serupa.<br />
<br />
Sang guru bersusah payah berjuang agar siswanya dapat lulus ujian nasional dengan nilai yang tinggi. Jika melalui proses belajar yang seharusnya, mereka –para siswa- tidak dapat mengejar ketertinggalannya mencapai nilai tinggi. Maka, cara-cara lain pun menjadi halal untuk dilakukan, seperti yang lazim dilakukan para guru saat ini, mengerjakan soal-soal unas terlebih dahulu dan kunci jawabannya diberikan kepada para siswa. Dan lebih celakanya lagi, tindakan yang seperti ini -seakan- didukung oleh PB PGRI dan tidak menyalahkan guru yang berbuat demikian (Jawa Pos, edisi 16 April 2011). Karena posisi guru yang dilematis, di satu sisi menginginkan muridnya berlaku jujur, sedang di sisi lain struktural pendidikan (dari kepala sekola hingga dinas pendidikan) menargetkan kelulusan di atas 90 persen. Tapi, secara garis besar, oknum-oknum yang berbuat demikian termotivasi oleh hasil akhir yang harus dicapai.<br />
<br />
Sang dosen senada dengan guru. Agar para mahasiswa dapat mencapai IP tinggi. Kebijakan pun dibuat kian beragam. Dari peniadaan kegiatan mahasiswa di luar akademik. Doktrin yang mengharuskan mahasiswa untuk terus berkutat dengan buku-buku formal kurikulum. Hingga pernyataan yang keluar bahwa mereka –mahasiswa- berada dalam kampus, tujuan utamanya adalah kuliah. Seakan-akan aktivitas di luar kuliah adalah sesuatu yang tidak penting dan tidak berguna. “Belajar yang rajin! Usahakan dapat IP lebih dari 3. Agar kelak mudah dalam melamar pekerjaan,” kalimat seperti inilah yang sering kita dengar dari para dosen.<br />
<br />
Lantas bagaimana sikap orang tua? Tentu tidak demikian, tidak jauh berbeda maksudnya. Sang Ayah berjanji akan memberikan apa yang diinginkan oleh buah hati jika berhasil memenuhi syarat yang ditentukan, misal mendapatkan ranking 1 di kelas. Begitu pula sang Ibu akan lebih bangga bercerita kepada rekan-rekannya di PKK, apabila anaknya adalah mahasiswa terpintar di kampus dan lulus dengan waktu yang singkat (3,5 tahun). Ucapan yang sering terlontar pun, “belajarlah yang pintar, biar bisa kuliah, lulus cepat, dapat kerja, dan bergaji tinggi.”<br />
<br />
Dan mata rantai seperti ini tidak hanya berkutat pada peserta didik, guru, dosen, ataupun orang tua. Mayoritas perusahaan menerima calon karyawannya dengan ukuran nilai akademis tinggi. Dan bagi mereka yang memiliki strata pendidikan lebih tinggi, tentu lebih besar peluangnya untuk menjadi pegawai dan gaji yang besar. Para dermawan pemberi beasiswa juga –seiya sekata-, hanya mau memberikan belas kasihnya kepada siswa/mahasiswa yang berprestasi akademis tinggi. Lalu masih banyak lagi efek dari tolak ukur hasil akhir ini dalam kehidupan sehari-hari kita.<br />
<br />
Satu contoh efek lain dari mata rantai ini adalah, hanya yang cerdas dan yang memiliki kemampuan finansial tinggi yang mampu mengenyam pendidikan yang layak. Dan sebaliknya, bagi mereka yang bodoh dan miskin akan terus berkutat dalam lingkaran kemiskinannya –miskin harta, miskin ilmu. Dan menjadi kaum-kaum yang termarginalkan dalam suatu kota. Uang dan pintar adalah syarat mutlak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan unggul. Yang pada akhirnya hanya mencetak lulusan-lulusan yang berorientasi pada angka-angka<br />
<br />
Tentu tidak semua seperti itu –hanya sebahagian besar saja- dan pula tidak salah. Memang demikianlah yang harus dilakukan. Agar setiap manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi, paling tidak sebagai manusia terpelajar, hendaknya kita harus mampu berpikir dan berbuat adil. Sehingga mereka-mereka yang tidak mampu menjadi no. 1 dalam bidang akademik tidak mendapat perlakuan yang berbanding terbalik dengan yang ada saat ini. Mereka juga manusia, yang dianugerahi kekurangan dan kelebihan yang berbeda-beda oleh Tuhan. Bukan untuk saling menjatuhkan antara satu dengan lainnya. Justru, yang ada saling melengkapi dan menyempurnakan.<br />
<br />
Mungkin, memang demikianlah cara Tuhan mendidik manusia. Ia ciptakan ketakutan dan kekhawatiran –akan berhasil atau tidak- agar manusia terus berusaha dan sadar diri. Lantas mawas dengan setiap keadaan dan mampu mengambil hikmah di setiap kegagalan dan kekecewaan. Dan hanya bagi merekalah yang tidak berputus asa dalam berjuang, akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Karena Tuhan tidak menilai akan apa yang sudah kita hasilkan (kalau baik=1, kalau jelek=0). Melainkan apa usaha kita dalam mewujudkan hasil itu. Dan tidak ada usaha yang sia-sia, semua memiliki hasil dan kearifan. Bahkan daun-daun yang berguguran pun, itu juga merupakan rancangan-Nya yang harus terjadi.<br />
<br />
Penulis berpikir, kalaulah saja uang tidak menjadi simbol keberadaan dan pintar bukan didasarkan pada angka-angka tinggi. Akankah hakikat pendidikan kembali kita temui?<br />
<br />
<em>Palembang, 18 April 2011</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-47687104231987323732011-07-29T05:51:00.000-07:002011-07-29T05:51:20.501-07:00Surat Terbuka untuk Penguasa<em>R Arif Firdaus Lazuardi-Langkah Awal ITS</em><br />
<br />
Penguasa yang saya hormati. Satu periode akan tunai dalam waktu dekat. Tentunya, banyak jejak yang sudah penguasa tinggalkan dalam menjalankan tugas negara. Dan saya ingin mengungkapkan rasa ‘terima kasih’ yang selama ini terpendam. Sebenarnya saya malu dan sungkan untuk menulisnya. Tapi bukankah Pramoedya Ananta Toer pernah menulis dalam karyanya Bumi Manusia; “seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Oleh sebab itu, saya tidak boleh tinggal diam, sebaliknya saya harus mem-berani-kan diri mengutarakannya:<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah mengeluarkan keputusan skorsing kepada tiga teman saya. Karena dianggap tidak memiliki etika ketika demonstrasi ‘aksi lapindo’. Dengan begitu menyadarkan saya bahwa membela rakyat kecil dengan cara yang tidak elegan akan merugikan diri sendiri. Ke depan, tentunya saya akan berhati-hati dalam berdemonstrasi dan menggunakan cara yang manis (bisa menjilat, atau memakai topeng) untuk menyelesaikan sebuah permasalahan—dan dengan cara seperti inilah politikus negara membela rakyatnya.<br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah menetapkan kebijakan tidak diperbolehkannya adik-adik mahasiswa baru untuk mengikuti segala bentuk kegiatan di luar akademik (semacam pengkaderan, ospek, dsb). Hal ini membuat saya menjadi mahasiswa licik dan pengecut. Karena mengelabui penguasa dengan proposal kegiatan yang saya ajukan (semisal penggantian nama kegiatan atau konsep yang tidak sesuai dengan proposal). Lantas saya pun mendidik mahasiswa baru dalam lingkaran kelicikan dan kepengecutan—dan dengan cara seperti inilah para anggota dewan mengelabui negara dan rakyatnya.<br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah mengeluarkan keputusan skorsing untuk teman saya yang nekat ‘ngrecoki’ adiknya (dalam pengkaderan). Walau saya sudah membelanya sepenuh hati di depan penguasa. Tapi usaha yang ada sia-sia, setelah itu saya terbisu dan terdiam. Berpikir seribu kali untuk melanjutkan proses yang sudah separuh jalan saya lalui―dan dengan cara seperti inilah Orde Baru membungkam suara rakyatnya.<br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah mengatur sistem sedemikian rupa dalam pencairan anggaran dana kegiatan mahasiswa. Yang memaksa saya untuk membuat stempel dan kuitansi palsu. Jujur, saya terpaksa melakukan hal itu, sebab tidak ada cara lain lagi agar kegiatan bisa terlaksana dengan lancar—dan dengan cara seperti inilah para pejabat mengkorupsi uang rakyatnya.<br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah menetapkan kebijakan nominal SPP baru bagi adik-adik mahasiswa tahun depan. Sehingga sedikit banyak menutup peluang anak miskin bangsa untuk mengenyam pendidikan yang layak di kampus ini―dan dengan cara seperti inilah lingkaran kemiskinan dan kebodohan terus berkutat di tengah kehidupan rakyat jelata.<br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah membawa perguruan tinggi ini ke deretan kampus terbaik di dunia. Tentu hal itu tidak lepas dari prestasi saya di berbagai bidang: karya mekanik, program kreativitas, penemuan dan penelitian ilmiah, serta seabrek prestasi lainnya. Dan untuk bisa seperti itu, saya sering melanggar jam malam yang sudah ditetapkan penguasa (s.d 23.00). Saya tidak tahu, apakah dengan begini menobatkan saya sebagai mahasiswa pelanggar aturan. Atau memang kebijakan jam malam yang tidak tepat sasaran—dan dengan cara seperti inilah wakil rakyat berkilah dalam menunaikan kewajibannya.<br />
<br />
Terima kasih penguasa. Yang sudah menjadikan saya mahasiswa pintar dengan IPK tinggi. Walaupun untuk meraihnya, saya harus menyalin jawaban teman ketika mengerjakan tugas dan mencontek ketika ujian. Juga telah menjadikan saya mahasiswa yang berdisplin ketat, karena harus memenuhi syarat minimal hadir dalam perkuliahan 80 persen. Seringkali untuk memenuhi daftar hadir, saya menyuruh teman untuk mengisi kolom tanda tangan yang ada—dan dengan cara seperti inilah pegawai negara memakan gaji buta dari rakyatnya.<br />
<br />
Sebenarnya, masih banyak lagi rasa terima kasih yang ingin saya lontarkan. Berhubung tempat saya menulis surat akan ditutup dengan kerangkeng alumunium (lokasi di kantin). Saya ‘sangat terpaksa’ dan dengan ‘tidak ikhlas’ menyudahinya. Lantas saya beranjak keluar untuk melanjutkan kehidupan saya sebagai mahasiswa. Belum lagi selangkah saya keluar dari ‘kungkungan alumunium’, saya harus melihat beberapa teman mahasiswa boyongan. Karena tempat aktifitas kemahasiswaan yang ditempati sebelumnya akan direnovasi.<br />
<br />
“Mas, disuruh pindah lagi ya?”<br />
<br />
“Ya gitu lah, seperti biasa.”<br />
<br />
“Tapi nanti kembali lagi toh, kan cuma direnovasi.”<br />
<br />
“Dulu kan juga pernah seperti itu, tapi buktinya ya enggak. Malahan isu yang beredar, gedung ini akan dijadikan BANK,” jawabnya lesu.<br />
<br />
*<em>Ironis, melihat bangunan negara yang semestinya dapat dipergunakan untuk kepentingan mahasiswa. Diambil alih oleh kegiatan ekonomi kapitalis*-jikalau isu itu benar.<br />
<br />
Kantin pusat ITS, 4 Mei 2011</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-60010608045310128942011-07-29T05:49:00.000-07:002011-07-29T05:49:15.350-07:00SPP Naik, Masalah Nggak Sih?<em>R. Arif Firdaus Lazuardi-Langkah Awal ITS</em><br />
<br />
Sebagian orang beranggapan bahwa uang adalah masalah. Tapi, saya tidak setuju. Ungkapan itu hanya berlaku bagi seseorang yang tidak memiliki uang. Sedang mereka yang punya sejuta lembar kertas berharga dan timbunan harta, uang adalah anugerah. Nah, kaitannya dengan SPP bagaimana? Masalah atau anugerah? Brodol, seorang mahasiswa yang tak pernah henti meneriakkan perjuangan menimpali , “Woey, kalau itu sih gak ada kaitannya! SPP adalah kewajiban. Bukan masalah atau anugerah,” teriaknya lantang.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Menarik.” SPP jelas kewajiban.<br />
<br />
SPP naik? Tetap kewajiban, atau berubah jadi masalah, atau malah jadi anugerah.<br />
<br />
Si A berkomentar: “SPP naik jelas bermasalah. Coba pikirkan, dalam kurun waktu 2 tahun tanpa ada gejolak ekonomi yang signifikan di kehidupan bernegara kita SPP bisa naik 44 persen, dari sebelumnya 1.250.000,00 menjadi 1.800.000,00. Padahal gaji para orang tua belum tentu naik 20 persen dalam 2 tahun terakhir. Kalau ini dibiarkan, maka kampus kita hanya akan diisi oleh anak-anak kaum borjuis. Atau paling tidak, anak miskin bisa tetap kuliah di kampus ini, tapi bapaknya di kampung harus memeras keringat lebih payah. Dan ibunya melilit erat sarung di perut dengan lilitan yang sangat rapat.”<br />
<br />
Si B menimpali: “Eh tidak juga, anak yang tidak mampu dapat mencari beasiswa. Bahkan SPP naik bisa menjadi anugerah baginya. Karena ia bisa mendapatkan kesempatan meraih beasiswa double. Sehingga jatahnya jadi naik. Kalau sebelumnya, bagi teman kita yang dapat beasiswa double tidak begitu terasa jatahnya. Kali ini, pasti mereka tersenyum manyun dan tertawa bahagia. Karena jatahnya lebih banyak. Bukan begitu…. Wah, tiap semester bisa beli inventaris baru tu…”<br />
<br />
Si C mencerca. “Tidak bisa begitu dong….Enak saja membuat kesimpulan tanpa data dan fakta yang tepat. Kita harus mengerti, kenapa SPP ini bisa naik dan apa alasan pejabat terkait memutuskan kenaikan SPP. Beliau-beliau kan bukan orang sembarangan, banyak gelar yang bergelantungan di depan dan belakang nama mereka. Setidaknya, mereka pasti mengerti lah kondisi mahasiswa yang nantinya akan masuk di kampus kita. Sederhananya, kalau kemampuan daya beli mahasiswa angkatan 2011 tinggi, SPP sebesar 1,8 juta sih tidak ada harganya. Masak untuk membayar puluhan juta di depan mereka mampu, sedang bayar SPP yang 1,8 tidak bisa?”<br />
<br />
Si D berang. “Lho, yang seperti itu kan hanya 40 persen dari total mahasiswa baru. Yang 60 persen gimana? Tidak semua dari mereka berasal dari keluarga mampu. Kalau saya sih masih husnudzon—berprasangka baik. Peraturan baru yang dikeluarkan Pak Menteri dalam Permendiknasnya tentang kuota penerimaan mahasiswa baru 2011 di PTN dibuat agar perguruan tinggi tidak menjadi oknum komersialisasi pendidikan. Dan harapannya sungguh mulia, agar anak miskin di desa dapat mengenyam pendidikan yang layak. Tapi kalau SPP dinaikkan, ini sungguh kebijakan yang menyengsarakan. Tidak bisa dijadikan jalan pintas perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhannya dan menjadikannya solusi atas Permendiknas yang baru diputuskan.”<br />
<br />
Brodol, sambil memakan lahap beberapa gorengan, dan menyeduh kopi hitam panas sambil mengepulkan asap rokok, santai berkata, “Lha ngapain ngotot masalah SPP, yang merasakan SPP naik kan mahasiswa baru. Kalau kita sih santai saja, tidak ada perubahan. Wes, belajar ae biar IP kita tinggi; atau bikin proposal PKM biar berprestasi dan turut menyumbang kampus kita jadi wold yunivelsiti. Biar gak kalah dengan kampus lain. Ha-ha-ha…”<br />
<br />
“Huuu…”, beberapa mahasiswa kecewa dengan sikap brodol dan bergumam misuh gak karuan. Beberapa lain setuju manggut-manggut dan mulai meninggalkan meja diskusi. Dan pembahasan pun berhenti seiring kepulan asap rokok yang menyongsong tinggi ke angkasa.<br />
<br />
Dan masalah ‘SPP naik’ pun tetap seperti sediakala. Berbaur dengan kesibukan mahasiswa yang mengerjakan tugas dan berorganisasi. Mengambang, tanpa sikap dan arah yang jelas.<br />
<br />
Seandainya saja di forum perdebatan itu hadir Wiji Tukul, seorang aktivis 1998 yang ditangkap, diculik, dan hilang tak pernah kembali. Pasti memberikan pesan singkat kepada kita: “Hanya ada satu kata: LAWAN!”<br />
<br />
<em>Sekitaran plasa Matematika ITS, 17 Maret 2011</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-69157353408250927962011-07-29T05:46:00.000-07:002011-07-29T06:09:21.841-07:00Aku BayangkanOleh: Bung Rafli* <br />
“Aku bayangkan….” Dalam suatu forum diskusi. Duduk diantara kami, orang-orang hebat mahasiswa kampus x, yang beberapa waktu lalu namanya diabadikan dalam sebuah buku. Ada yang pintar olimpiade. Ada yang juara di berbagai kompetisi. Ada yang aktivis. Ada yang penulis. Ada yang businessman. Pun, ada berpuluh orang lagi yang menjadi tren mahasiswa inspiratif.<br />
<a name='more'></a> <br />
Oh iya, ditambah hadir pula kawan-kawan mahasiswa yang sempat mengharumkan institut x dengan berbagai karyanya yang sudah bersaing di kancah nasional maupun internasional.<br />
Kami tidak sekedar berkumpul, cangkruk dan ngopi bareng+merokok. Tapi lebih dari itu. Forum ini menjadi penting karena pesertanya merupakan orang-orang besar. Maka, kami juga mendiskusikan masalah besar. Membicarakan tentang perubahan besar ke depan. <br />
Topik diawali dengan tema pem-bicaraan: “Apa yang sudah kita perbuat?” Dengan mudah dan tanpa perlu berpikir panjang, satu persatu dari kami menjelaskan apa yang sudah dilakukan. Tentu hal ini bukanlah pekerjaan yang sulit. Karena masing-masing dari kami memiliki pengalaman pribadi yang mem-banggakan. <br />
Dimulai dari kisah tim yang beberapa waktu lalu karyanya bersaing di kancah internasional dan mampu menyabet beberapa penghargaan. Ternyata hal senada banyak juga dilontarkan oleh tim lain. Baik itu berupa karya rekayasa mesin, produk ,mekanik baru, dsb. <br />
Tidak hanya sampai di situ. Yang baru sampai tingkat nasional pun mema-merkan hasil kerja kerasnya yang meraih juara pertama dalam kompetisi mekanik nasional. Yang juara olimpiade tak mau kalah. Ia bercerita tentang bagaimana jerih payahnya dari awal hingga kondisinya saat ini, hingga mampu menjuarai beberapa ajang olimpiade. <br />
Sebelum ia menjadi yang pertama di olimpiade serupa, ia terus ikuti setiap tahunnya sampai menjadi juara. Sungguh kerja keras yang luar biasa.<br />
Sedang mahasiswa yang sukses mem-bangun kerajaan bisnis melontarkan spekulasi khusus tentang peluang usaha yang bisa digarap oleh mahasiswa. Ia berpesan bahwa tidak ada kesuksesan yang diraih dengan instan. Semua harus berproses dari bawah. Dan, kesabaranlah kunci utama keberhasilan. <br />
Nah, yang terakhir ini sungguh meng-harukan. Ia tak membanggakan dirinya sendiri. Tapi sebaliknya, ia sangat merasa bahagia ketika mendengar almamaternya berhasil meraih Juara Umum II Pekan prestasI Mahasiswa NASional. Dan untuk tahun berikutnya memiliki target sebagai juara umum I. Harapan itu ternyata tak sekedar mimpi belaka, karena akhir-akhir ini bakal ada 295 calon peraih prestasi selanjutnya. <br />
Wuih, tanpa kusadari, ternyata sudah banyak yang dilakukan oleh kampusku tercinta ini. Itu semua tidak lepas dari jerih payah mereka. Beberapa mahasiswa yang mau mengorbankan pikiran, tenaga, dan sakunya untuk meraih semua prestasi. <br />
Diskusi berlangsung hangat dan gayeng. Kami saling tukar informasi, inspirasi, dan cerita. Hingga ada seseorang yang menceletuk bertanya, “Nah, kalau kamu, sudah berbuat apa?” tanyanya lepas sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arahku. <br />
Dengan gagap kujawab: “A…aaaaku belum berbuat apapun. Tapi aku suka berpikir kritis. Aku hanya bertanya-tanya. Setelah semua prestasi di atas. Setelah semua kebanggaan berhasil kita raih. Setelah itu apa…..?”<br />
“Sedang di kampung terdekat Institut x, tata kehidupan masyarakatnya masih jauh dari kata layak. Lantas apa yang bisa kita perbuat sebagai mahasiswa berprestasi?” “Sampai tulisan ini selesai pun, aku masih membayangkan…”<br />
*<i>R Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS</i>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-3591664642980063612011-07-29T05:38:00.000-07:002011-07-29T05:38:37.668-07:00Jangan Tidur Lama-Lama Kawan<em>Catatan Kritis Pilrek ITS 2010</em><br />
<br />
Untuk membuat tulisan ini, saya harus berpikir keras terlebih dahulu, bekerja keras pula, bahkan sempat beraksi keras juga. Harapannya sih, sederhana saja, agar apa yang saya tuliskan kelak tidak terlalu keras dan berakibat keras. Karena semua jenis kekerasan sudah saya kuras habis tenaganya di awal proses pembuatan tulisan. Jadi, pembaca tinggal menikmati sisa-sisa kekerasan yang ada dan melihatnya dengan indah dari sudut pandang yang berbeda.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Harusnya liburan hari raya mahasiswa ITS kali ini, menjadi moment liburan yang paling berharga. Bagaimana tidak, kita diberi waktu merenung lebih dalam untuk menentukan bakal calon rektor (bacarek) yang kita pilih. Harapannya jelas, agar kita tidak salah pilih rektor yang kelak akan memberi warna ITS dan kehidupan mahasiswa tentunya. Sayang, kesempatan ini tidak berjalan sesuai realita. Justru karena liburan yang lumayan panjang inilah, mayoritas mahasiswa kita lupa, kalau nanti begitu kita masuk awal kuliah. Langsung berhadapan dengan bilik suara.<br />
<br />
Di sinilah awal kelucuan drama mahasiswa ITS terjadi. Beberapa waktu, saya bertanya kepada teman diskusi saya tentang profil bacarek ITS. Ternyata ia tidak tahu, jangankan profilnya, nama dari 11 bacarek pun ia tak tahu. Saya semakin sadar, pasti ini tidak berlaku untuknya saja. Saya pun mencoba untuk menggali beberapa informasi dari kawan lainnya. Ternyata jawaban sama, mayoritas mereka tidak tahu profil bacarek ITS, apalagi mahasiswa baru. Nah, saya pun tak tahan menahan tawa. Pasti hari awal masuk kuliah setelah liburan, yang notabene hari pertama juga mahasiswa menetapkan piihannya. Akan menjadi hari ratusan mahasiswa ‘mengambil kucing dalam karung’.<br />
<br />
Lebih kaget lagi, karena saya juga mendapatkan informasi baru. Bahwa cara memilih bacarek ITS dengan ‘menulis’ bukan mencoblos layaknya pemira lalu ataupun mencontreng seperti pemilu Indonesia. “Hal ini tidak bisa dibiarkan, masak ITS yang katanya ‘Go World University’ tata cara penjaringan suara kembali ke masa lampau,” saya berkata dalam hati. Akhirnya, saya dan beberapa teman sepakat untuk beraspirasi. Meminta penjelasan kenapa seperti itu dan ingin memberi masukan.<br />
<br />
Agak bingung juga mulanya, kepada siapa kita harus menyampaikan aspirasi. Usut punya usut ternyata gawe Pilrek ITS digawangi oleh PPCR (Panitia Pemilihan Calon Rektor) yang memberikan amanah kepada BEM ITS.Lalu badan eksekutif itu melalui Kemendagri membentuk Pokja (Kelompok kerja) Pilrek ITS. Selintas, saya berpikir Pokja inilah yang menjadi kelompok independen mahasiwa yang menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa dalam pilrek. Lantas, Ahad pagi (19/9) kami pun berkeinginan untuk berdiskusi dengan pokja beserta jajarannya.<br />
<br />
Ternyata, Saya ragu atas ke-independen-an Pokja Pilrek ITS. Karena di awal kami ingin berdiskusi, ia (ketua Pokja) menunda waktu dengan alasan ada janji dengan PPCR. Padahal ketika itu, berkumpul lumayan banyak beberapa mahasiswa dari berbagai jurusan yang mungkin juga ingin beraspirasi. Hemat saya, kalau saja waktunya tertunda, tidak akan ada lagi moment yang seperti ini. Tapi, kawan saya yang satu ini berpendirian keukeh, ia ingin mendahulukan kepentingan PPCR daripada mendengar aspirasi mahasiswa alias kawannya sendiri. Kami pun sepakat (setelah melalui aksi yang cukup keras juga), akan berdiskusi pukul 12.00, tepat setelah ia menyelesaikan urusannya.<br />
<br />
Saya semakin yakin, indepedensi mahasiswa ITS yang diwakili oleh Pokja Pilrek ITS benar-benar dipermainkan. Saat diskusi berlangsung, keyakinan saya tertepis dengan pernyataan yang keluar dari anggota Pokja, bahwa kelompok ini terbentuk memang sebatas OC (panitia pelaksana) dari PPCR. Lebih anehnya lagi OC Pokja Pilrek mampu membuat OC baru di jurusan-jurusan (KPPS). Kawan diskusi saya ber-statement. “Tolonglah, pahami sedikit SK rektor yang menyatakan bahwa Pokja dalam penjaringan suara, independen dan mandiri dalam melaksanakannya.” Ya, sebagai mahasiswa biasa, saya berkesimpulan sebatas inilah kualitas Pokja Pilrek ITS.<br />
<br />
Masalah kembali muncul, setelah kami mengetahui bahwa tata cara pemilihan dengan menulis adalah perintah langsung dari PPCR. Dan kotak suara akan disimpan di ruangan Kajur (Ketua jurusan) masing-masing juga inisiatif PPCR. Dan sekali lagi, Pokja menyepakati hal ini, jelaslah sudah bahwa independensi mahasiswa bukan lagi dipermainkan, tapi tidak ada alias mati. Kami pun, sebagai mahasiswa biasa yang kurang kerjaan mengkritisi hal ini. Menuntut dua hal, pertama kotak suara biarlah dijaga oleh mahasiswa sendiri, kedua tata cara pemilihan diganti dengan cara yang lebih ideal, yakni mencoblos, mengingat bahwa pemira lalu menggunakan cara yang sama. Dan terbukti efektif dan prosentase suara yang tidak sah sedikit.<br />
<br />
Diskusi alot berlangsung, dari pukul 13.00 hingga 17.00 menghasilkan keputusan Pokja beserta jajarannya akan mengaspirasikan kedua hal itu. Tapi, tuntutan kedua sulit dipenuhi, karena mereka lebih mempertimbangkan fungsi waktu yang tidak memungkinkan, padahal kami berprinsip fungsi hasil yang harusnya diutamakan. Tapi, ada beberapa ucapan bijak dari mahasiswa no.1 ITS, yang menyatakan bahwa dengan lebih melunakkan aturan penulisan nama juga merupakan wujud independensi mahasiswa dalam mengatur kehidupannya. Sehingga muncul keputusan, kalau ada pemilih yang hanya menulis nomor bacarek atau menambahkan atribut (ex: jargon dan gambar) selain nama di kertas pilihan, suara itu tetap sah.<br />
<br />
Hari pertama penjaringan suara pun tiba, dengan sigap dan penuh keyakinan saya memasuki bilik suara. Pikiran aneh muncul, ketika melihat daftar bacarek yang nomor urutnya ditulis pakai pena bukan hasil cetak (print). Apa yang akan terjadi kalau nomor urut itu saya coret dan saya acak sesuka hati, “pasti rame nantinya”. Tapi niat itu urung saya lakukan, mengingat pesan dari mahasiswa no.1 ITS, “masak mahasiswa tidak dewasa”.<br />
<br />
Selanjutnya, dengan mengucapkan basmalah dan berharap yang terbaik, saya menuliskan nama calon rektor di atas selembar kertas. Seperti ini tulisannya, “xxxxxxx. JANCOK, I luph yu pull Pak”. Saya kira moment inilah yang paling saya suka, karena menunjukkan ke-independensi-an mahasiswa ITS, paling tidak seperti itulah nasihat dari mahasiswa no.1 ITS.<br />
<br />
Oh iya, tidak lupa di samping tulisan, saya juga menggambarkan orang-orangan yang berteriak “Vivat ITS....!”. Sebenarnya saya juga ingin menambahkan tulisan “Hidup Independensi Mahasiswa”. Tapi urung saya lakukan, karena urusan hidup-menghidupkan yang sudah mati, itu di luar kuasa saya.<br />
<br />
<em>Ditulis oleh: Lazuardi, mahasiswa Matematika ITS </em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-8070485871352716652011-07-29T05:31:00.003-07:002011-07-29T05:31:45.384-07:00KosongKau duduk manis di lekukan bintang sana<br />
Sedang aku terpaku di bumi<br />
Jelas sudah, tak mungkin kugapai dirimu, walau hanya sesentuh saja<br />
Tapi asa tak kan pernah pudar, walau cahayamu redup terang<br />
Bak bintang yang muncul rabun tergelayuti mendung awan <br />
Atau tetesan hujan <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Aku lihat diriku, memang belum layak tuk bersanding<br />
Maka, belajar sabar dan kecewa kan kuteruskan<br />
Hingga nanti, mawar itu merekah dan bersemi kembaliLazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-17185492465523381642011-07-29T05:31:00.001-07:002011-07-29T05:31:15.876-07:00Sabar dan Setia -Sejenak Saja-Saat…..<br />
Kulihat kupu-kupu menari gemulai di rumpunan bunga<br />
Ingin sekali merengkuh dan menikmati madu bersamanya<br />
<br />
Saat….<br />
Kutatap pelangi berkibar mengitari angkasa<br />
Ingin sekali terbang dan merasa syahdu angin bersamanya<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<br />
Saat….<br />
Kupandang gumulan ombak nan elok menebar pesona<br />
Ingin sekali sentuh dan ciptakan keindahan bersamanya<br />
<br />
Tapi, tidak untuk masa ini. Karena waktu belum jua berpadu…..wahai purnama kalbu<br />
Ingin kurasa sabar dan setia <br />
Mengarungi rindu bersama, pastikan kearifan sejati<br />
Hingga kelak, terang sudah segala kelabu<br />
<br />
Terpancar dari parasmu nur keikhlasan<br />
Teduhkan rasa, ciptakan asa<br />
Bersama…<br />
Antara hitam dan putih, <br />
bulan dan matahari, <br />
diriku dan dirimu<br />
<br />
Belajarlah sabar dan setia -sejenak saja-<br />
Itu, kalau aku tak salah merasamuLazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-38096445797971312542011-07-29T05:30:00.002-07:002011-07-29T05:30:38.251-07:00Melukis SenjaBiar malam menggelayut manja pada angin<br />
aku tetap bersitegak terpatri pada bumi<br />
<br />
biarkan imaji terbang, bebas, lepas<br />
bak leokan burung camar, indah, menghias angkasa<br />
<br />
tahbiskan pelangi dalam bingkai emas lukisan pias.....Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-1163132272305567032011-07-29T05:30:00.000-07:002011-07-29T05:30:11.264-07:00Generasi Mahasiswa Munafikdi masa itu,<br />
ketika benar menyerupai salah<br />
dan salah pun enggan dikata<br />
lantas tiap awak berlaga,<br />
berteriak menganga.....<br />
"Biar ini salah, toh juga benar"<br />
Generasi Mahasiswa Munafik -mulai berjaga-<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
di masa itu,<br />
ketika malu tak lagi sipu<br />
dan tersipu adalah abu<br />
setiap jiwa tak peduli hirau<br />
bebas, merajang waktu, berjibaku seru<br />
Generasi Mahasiswa Munafik -berpacu sudah-<br />
<br />
di masa itu, pula<br />
kepala tak peduli raga<br />
mata acuhkan telinga<br />
lidah bertolak qolbu<br />
kebenaran terpaku....<br />
keadilan tersaru....<br />
kebohongan....-terus melaju-<br />
<br />
Generasi Mahasiswa Munafik -BERJAYA-<br />
JAYA -mahasiswa munafik-<br />
<br />
<em>11 Jan 10, ITS </em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-44438999379122330342011-07-29T05:29:00.001-07:002011-07-29T05:29:18.809-07:00Mengukir DuniaKemarin hampa<br />
Saat ini ada<br />
Esok kan tiada<br />
Olehmu, sudahkah terukir dunia?<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kau ada karena kesengajaan<br />
-Juga- tak kesengajaan<br />
Begitu jua ketiadaan <br />
<br />
Tangis itu meruah<br />
Karena dunia megah terus menjarah<br />
Waktu yang kau adakan dari kehampaan<br />
<br />
Senyum itu terkembang<br />
Karena nasibmu kini mengambang<br />
Dan waktu tetap tegak, walau jalan terseok penuh bimbang<br />
<br />
Tangis dan senyum ada<br />
Karena memang harus ada<br />
Tanpanya, semua dusta<br />
<br />
Di awal, ia muncul bersama<br />
Kau menangis, mereka tersenyum<br />
Di akhir, harus tetap bersama<br />
Kau tersenyum, mereka menangis<br />
<br />
Inilah hidup, bukan dongeng semata<br />
Tentang perjuangan dan pengorbanan<br />
Hingga nyata terukir dalam sejarah<br />
Bahwa kau....<br />
-kemarin hampa, saat ini ada, dan esok tiada-<br />
<br />
Olehmu, terukir dunia dengan kata-kata!<br />
<br />
<em>1 Desember 2009 </em><br />
<em>Saat dimana, 21 tahun lalu kuhadir di dunia</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-52038195322134775762011-07-29T05:28:00.001-07:002011-07-29T05:28:34.247-07:00Jadilah PelangiWaktu ini tak kan berhenti<br />
Walau diri selalu gelisah<br />
Akan dunia semu, tercaci maki<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ingatlah diri agar tidak terhenti<br />
Akan harapan asa membuncah<br />
Tuk temui pribadi suci<br />
<br />
Di belakangmu, mereka berharap<br />
Di sampingmu, mereka berucap<br />
Di depanmu, mereka menghadap<br />
<br />
Temuilah<br />
Dengan segala bintang dan cerahnya pelangi<br />
Dengan harumnya mawar dan melati<br />
Dengan sucinya hati dan nurani<br />
Hingga mereka berkata, <br />
“cukup sudah kami memberi, elok nian dirimu kini”<br />
<br />
Setitik embun mengalir<br />
Dari mata elok, paras ayu bidadari<br />
Dan kau berkata, <br />
“terima kasih tlah memberi, ridlomu terus kunanti”<br />
<br />
Keriput mereka kan bertambah hari<br />
Tak tersiakan oleh pribadimu suci<br />
Semoga ini doa abadi<br />
Untuk kini dan esok hari<br />
<br />
<em>22 November 2009</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-13311028311016775282011-07-29T05:26:00.002-07:002011-07-29T05:26:58.452-07:00Aku Harap KamuDi parasmu, yang bersinar itu <br />
Ada harapan dan asa, terus menderu <br />
Tak jemu, oleh waktu yang membisu <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Di senyummu, yang lepas itu <br />
Ada bahagia dan ketentraman, terus berpacu <br />
Tak sedu, oleh hati yang membeku <br />
<br />
Di matamu, yang elok itu <br />
Ada kejujuran dan keikhlasan, terus beradu <br />
Tak paku, oleh realita yang membiru <br />
<br />
Demi waktu, aku berharap kamu <br />
Agar terus terpatri, dalam sanubariku <br />
Abadi selalu <br />
<br />
<em>22 Nopember 09 <br />
Untuknya selalu</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-83426143548218581862011-07-29T05:26:00.000-07:002011-07-29T05:26:03.995-07:00Enak Jadi Cicak atau BuayaKetika<br />
Segerombolan cacing bergeliat<br />
Gerah <br />
Akibat panas bara yang 'tak pernah'<br />
Reda -itu-<br />
Seketika pula, ku ingin serasa cicak<br />
Agar bisa merayap <br />
Di segala arah dan bidang<br />
Melacak gerak-gerik<br />
Nyamuk-nyamuk nakal<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Seiring derap sinar mentari<br />
Dan buaian cahya rembulan<br />
<br />
Tikus pun<br />
Juga ikut bergeliat <br />
Gerah<br />
Akibat panas bara yang 'hampir'<br />
Reda -itu-<br />
Seketika pula, ku ingin jadi buaya<br />
Walau berupa suram<br />
Tapi kuasa tergenggam<br />
Kan kulahap semua yang terlihat<br />
Termasuk -kau- <br />
<br />
Cicak-cicak keji -bagiku-<br />
Yang banyak melahap 'nyamuk-nyamuk' -nakal-<br />
<br />
Tak lama, ku bosan tuk jadi cicak, juga buaya<br />
Lebih enak tikus saja, toh kalau tak bisa, <br />
Hanya cacing ku kan berupa<br />
<br />
Tak lama, lagi<br />
Ku rasa semua sama, entah cicak, juga buaya<br />
Tikus maupun cacing<br />
Ternyata aku hanya binatang, malu diri, selama ini, merasa mulia<br />
<br />
Padahal yang sejati, aku adalah nista.....<br />
<br />
<em>untuk KPK dan POLRI, serta rakyat dan pejabat yang bingung<br />
akan nasib bangsa-ku<br />
18 Nop 2009</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-41389849702670512362011-07-29T05:25:00.001-07:002011-07-29T05:25:08.477-07:00Janji - Bukan Basa BasiIa datang kembali<br />
Bersama mimpi yang -sesaat- terpendam sepi<br />
Walau terkoyak lesu, terbasahi peluh, -tapi- asa tak pernah mati<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dengan sinar harapan<br />
Dan mata kejujuran<br />
Ia datang kembali<br />
Bersama mimpi yang -sedetik- terhempas lirih<br />
Tuk capai damai diri<br />
Walau dalam lingkaran nisbi<br />
<br />
Sekali lagi, ia datang kembali<br />
Menyuarakan hati<br />
Yang lama terpendam emosi<br />
Tuk raih kepribadian suci<br />
<br />
Ia datang kembali, bersama mimpi <br />
...yang -sesaat- terpendam sepi<br />
...yang -sedetik- terhempas lirih<br />
...membawa sebuah bukti<br />
sebab ini adalah JANJI, bukan -BASA BASI-Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-83764386062925899192011-07-29T05:24:00.003-07:002011-07-29T05:33:07.034-07:00Pesona JilbabPendar kilau cahaya<br />
Terpancar dari wajah wanita<br />
Dengan dua jilbabnya<br />
-----Jilbab ragawi<br />
-----dan jilbab hati<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Jilbab ragawi <br />
Elokkan rupa sang hawa<br />
Abadikan kehormatan raga<br />
Sejatikan keteguhan hati<br />
Mulia, antara manusia<br />
<br />
Ia muncul dari alam<br />
Sempurnakan hidup tuk hiasi diri <br />
------Tapi ia basah oleh air<br />
------Hangus oleh api<br />
------Panas oleh mentari<br />
------Lapuk oleh waktu<br />
Ia pun sepi dari abadi<br />
<br />
Jilbab hati<br />
Mantapkan Iman<br />
Muliakan kedudukan<br />
Istiqomahkan amalan diri<br />
<br />
Ia timbul dari nurani<br />
Kokoh sebab dzikir, abadi sebab shalawat<br />
Kekal karena kebaikan, ada karena ibadah<br />
------Ia tak musnah oleh zaman<br />
------tak padam oleh angin<br />
------selalu muncul di sanubari<br />
------tak kan pergi, walau ajal menanti <br />
Ia selalu abadi di hati<br />
<br />
Jilbab ragawi, pesona diri<br />
Jilbab hati, pesona Ilahi<br />
<br />
-<i>ITS, 06 Oktober 09</i>-Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-44526257752905296632011-07-29T05:23:00.000-07:002011-07-29T05:23:01.076-07:00Alam Menggeram LagiSalah apa lagi kami?<br />
Kami salah apa lagi?<br />
<br />
Alam mengamuk kembali<br />
Bumi menggeram keras<br />
Ratusan bangunan roboh<br />
Ribuan jiwa melayang<br />
Rakyat Andalas menangis <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kemarin Yogya<br />
Baru saja Tasikmalaya<br />
Sekarang, Terulang lagi<br />
<br />
Sadar,<br />
Bahwa ini sudah kodrat Ilahi<br />
Tak mungkin kami sesali<br />
Tapi kenapa?<br />
harus terjadi lagi, terulang kembali<br />
<br />
Kemarin kami dengar<br />
Rintihan anak malam hari <br />
Tertimbun reruntuhan pondasi besi<br />
Mereka berteriak,<br />
“lapar, haus, air, udara’<br />
Tapi anda, hanya mendengar, tak mampu berbuat<br />
Esok hari<br />
Rintihan itu berhenti, Mereka pergi abadi<br />
<br />
Tak pernahkah pengalaman belajar?<br />
<br />
Kami tak salahkan anda<br />
Tak ada lagi yang salah<br />
Tapi tetap kami herani<br />
Kenapa ini terulang kembali<br />
<br />
Ini semua sebab-akibat<br />
Tak ada lagi yang salah<br />
Mari kita terus merawat<br />
Mari kita terus berbenah<br />
Karena ini bisa terjadi, berkali-kali<br />
<br />
Salah apa lagi kami?<br />
Kami salah apa lagi?<br />
<br />
<em>Mengenang, luluh lantaknya bumi andalas 30 sept 09 <br />
Semoga bangsa ini mampu tuk terus berbenah diri <br />
-Surabaya, 01 10 09 00:03-</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-78848154182981694782011-07-29T05:22:00.000-07:002011-07-29T05:22:11.404-07:00Antara Kami dan MerekaKami dan mereka<br />
Tak jauh beda<br />
Tapi benar berbeda<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Seupa nasi <br />
Sungguh segarkan peluh keringat<br />
Bangkitkan jiwa terlelap, songsong raga, sambut sinar esok<br />
Walau tahu…..seupa nasi tak jamin datang kembali<br />
-----Tapi, untuk mereka <br />
-----Seupa nasi <br />
-----Hanyalah sampah, kotoran permadani luas <br />
-----Segera buang dan musnahkan <br />
-----Dan pasti, seupa nasi kan ada setiap hari <br />
<br />
Secuil bahagia<br />
Timbul ala kadarnya, tersenyum dengan alam<br />
Walau badan meradang, perut lompong, sandaran reyot<br />
Simpul senyum tetap mengembang<br />
-----Tapi, untuk mereka <br />
-----Secuil bahagia <br />
-----Adalah mobil mewah, rumah istana, bukitan harta <br />
-----Walau harus korbankan jiwa lain<br />
-----Dan pasti, mereka terus ingin tertawa <br />
<br />
Seucap kata<br />
Terlontar dari hati jernih, polos, ikhlas<br />
Guyubkan suasana, langgengkan pertalian<br />
-----Tapi, untuk mereka <br />
-----Seucap kata <br />
-----Merupakan kepentingan<br />
-----Walau lidah membual, hati membusuk <br />
-----Mereka akan tetap berkata <br />
----- “Ini, untuk kami” <br />
<br />
Kami dan mereka <br />
Tak jauh beda<br />
Tapi benar berbeda<br />
-----Kami rakyat….. <br />
-----Mereka pejabat…..<br />
<br />
<br />
Kami rakyat….. Mereka pejabat…..<br />
<br />
<em>Surabaya, 31 September 09</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-9389281969462737632011-07-29T05:21:00.001-07:002011-07-29T05:21:13.015-07:00Diriku Hanya Untuk Mu->Ya Rabb,<br />
Di kala aku miskin<br />
Aku selalu meminta kepada-Mu <br />
Agar Engkau memberiku harta berlimpah<br />
Dan aku berjanji akan menjadi hamba yang ahli shadaqah<br />
Hari ini, Kau beri aku kekayaan<br />
Dan aku ingkar akan janjiku<br />
Tapi Kau tidak marah<br />
<a name='more'></a><br />
->Ya Rabb,<br />
Di kala aku sakit<br />
Aku selalu memohon kepada-Mu<br />
Agar Engkau menghilangkan segala penyakit<br />
Dan aku berjanji akan menjadi hamba yang ahli syukur nikmat<br />
Hari ini, Kau kabulkan lagi doaku, ragaku sehat, hilang sudah segala penyakit<br />
Dan aku ingkar kembali akan janjiku<br />
Tapi Kau tidak marah<br />
->Ya Rabb,<br />
Di kala aku sendiri<br />
Aku selalu berkeluh kesah kepada-Mu<br />
Agar Engkau memberiku kenikmatan lahir dan batin<br />
Dan aku berjanji akan menjadi hamba yang ahli amanah akan titipan-Mu<br />
Hari ini, Kau dengar lagi doaku, istriku sholehah, anaku pun berbakti<br />
Dan aku lagi-lagi ingkar akan janjiku<br />
Tapi Kau tidak marah<br />
->Ya Rabb,<br />
Di kala aku susah<br />
Aku selalu berharap kepada-Mu<br />
Agar Engkau memberiku jabatan yang tinggi dan hidupku lebih nyaman<br />
Dan aku berjanji akan menjadi pemimpin yang fathonah, amanah, shiddiq, tabligh<br />
Hari ini, Kau jawab lagi doaku, prestasi kerjaku meningkat, aku pun jadi direktur<br />
Dan aku selalu ingkar akan janjiku<br />
Tapi Kau tidak marah<br />
<br />
Ya Rabb,<br />
Aku malu kepada-Mu<br />
Setiap hari aku selalu menyuruh dan meminta-Mu<br />
Dan kau selalu mengabulkan setiap pintaku, seperti janji-Mu<br />
Tapi lagi-lagi.....<br />
Kau tak pernah marah akan segala ingkarku<br />
Terakhir aku mohon kepada-Mu<br />
Agar esok hari, ku mampu menunaikan segala janji yang kuingkari<br />
Dan aku akan menjadi hamba yang ahli taubat<br />
<br />
Hari ini, kulihat tubuhku terbujur kaku sendu<br />
Rumah, mobil, uang dan seluruh hartaku hanya membisu<br />
Mata, mulut, tangan, kaki, ragaku beku membiru<br />
Istri dan anakku hanya mampu menangis<br />
Jabatanku pun tak berbuat apa-apa<br />
Dan aku tak sempat menunaikan janjiku<br />
<br />
…………………………………………<br />
…………………………………………<br />
<br />
Ya Rabb,<br />
Aku benar-benar memohon kepada-Mu<br />
Agar mengembalikanku ke dunia barang sejenak<br />
Kan kuhapus segala ingkarku<br />
Kali ini pun, kau kembalikan aku lagi<br />
.....kusedekahkan seluruh hartaku<br />
.....kuabdikan sepenuhnya ragaku untuk-Mu<br />
.....kutinggalkan istri dan anakku<br />
.....kutanggalkan jabatanku<br />
Diriku hanya untuk-Mu<br />
Ya Tawwab (Maha Penerima Taubat)<br />
<br />
<em>Surabaya, 16 Juli 2009</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-75208444566715705182011-07-29T05:20:00.000-07:002011-07-29T05:20:26.586-07:00Mereka Bidadari Juga MalaikatSenyum mereka……<br />
Lepas, penuhi nafas keikhlasan<br />
Gerak mereka……<br />
Menawan, pancarkan nafas perjuangan<br />
Tanya mereka…….<br />
Santun, desirkan nafas pendidikan<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Hari ini,<br />
Hanya doa yang mampu iringi mereka<br />
Esok hari,<br />
Doa mereka mampu iringi hidup ini<br />
<br />
Mereka…..<br />
Bak bidadari <br />
Juga Malaikat<br />
<br />
Rindu hati akan mereka<br />
Akan nyata kemudian hari…..<br />
<br />
-<em>GP 3, 29 09 09</em>-Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-59013021729750275542011-07-29T05:19:00.001-07:002011-07-29T05:19:22.862-07:00Tatapan Sang GadisGadis itu merana menatap sedih ke tanah lompong<br />
Di sana dulu ia curahkan tawa dan tangis<br />
Di sana dulu ia ungkapkan bahagia dan sedih<br />
Di sana dulu ia adu nasib kaya atau miskin<br />
Kini,<br />
<a name='more'></a><br />
Ia hanya mampu menatap dan terus menatap<br />
Tanah lompong yang semakin kosong<br />
Akan segala harapan dan asa <br />
Nisbi sudah perubahan<br />
Terpupus hilang bak debu melayang di udara<br />
Air mata tak mampu tuk membendung smua kecewa<br />
Akan kuasa dan jabatan fana<br />
Demi rakyat katanya kuasa berjabatan<br />
Demi negara katanya jabatan berkuasa<br />
Demi.......Gombal<br />
<br />
<em>Mengenang penggusuran warga stren kali jagir<br />
Surabaya, 16 Juli 09</em>Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6946252299229125780.post-4287174881436430992011-07-29T05:17:00.001-07:002011-07-29T05:17:56.234-07:00Udara 'Kah' Atau - - - - ?Rasa gundah hati terus bergejolak<br />
Iringi syahdunya malam kemenangan<br />
Mereka sorak sorai gembira sambut yang kan datang<br />
Lupakan tamu agung yang pulang kembali ke titian<br />
Entah haruskah senang atau sedih……gelombang fitrah gelayuti hati<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tapi qalbu tetap kosong tak bernurani<br />
Sepi akan diri-Nya kah atau ……..<br />
Sepi akan dirinya……<br />
<br />
Gelombang otak seakan tak pernah henti<br />
Bertafakur….temukan titik putih maupun hitam<br />
Biarlah raga ini terus merana….rindukan-Nya<br />
Hingga tiba saat tahu jati diri<br />
Siapakah aku<br />
Siapakah Rabbku<br />
Dimanakah aku<br />
Dimanakah Rabbku<br />
<br />
Udara kan terus gemulai sepoi-sepoi diantara pepohonan<br />
Penuhi ruang yang terikat waktu<br />
Karenanya ku mampu berpikir<br />
Olehnya ku mampu berjalan<br />
Darinya ku mampu berbicara<br />
Asal muasal hidup ku mampu berjalan…..ragaku mampu bertindak…<br />
Darinya….olehnya…..dan karenanya<br />
<br />
Sedetik udara berhenti….tak bersepoi seperti biasa…..<br />
Matilah otak dan pikiran<br />
Tak berdaya raga dan jiwa<br />
Sesak…..sesak…..<br />
Rindu akan hadirnya kembali<br />
<br />
Karena siapakah ku hidup<br />
Bagaimanakah ku hidup<br />
Kenapa ku hidup<br />
Mengapa ia menghidupiku……<br />
<br />
Udarakah atau……..<br />
<br />
Dari siapa udara tercipta<br />
Tak tahu diri…..atau tak tahu menahu<br />
Ayatnya kan selalu ada…..tapi ingkar terus merona<br />
<br />
Setiap detik…..bahkan menit…..atau jam….<br />
Udara tak henti hidupkan kita….<br />
Dan udara tak pernah berhenti dari kuasa yang ia pegang<br />
Siapa yang beri kuasa udara<br />
Siapa yang cipta udara<br />
Siapa yang hendak hentikan udara<br />
<br />
Hidup kita bersama udara sepanjang waktu<br />
Menggelayut manja raga…..<br />
Menyelimut badan manja….<br />
<br />
Udarakah yang menggelayut di ragamu….? Benarkah udara, atau…..<br />
Udarakah yang menyelimut di manjamu…..? Benarkah udara, atau……<br />
<br />
Pantaskah diri tuk berkata<br />
Aku hamba makhluk mulia<br />
Aku hamba makluk sempurna<br />
Sedang udara ‘kah’ atau …. Selalu berada di antara darah mengalir<br />
Iringi hidup hingga ia kan tiba……<br />
<br />
Renungan malam, 5 Syawwal 1430 / 25 Sept 09<br />
Sidoarjo…..Lazuardihttp://www.blogger.com/profile/06062037244703093691noreply@blogger.com0