Halaman

Jumat, 29 Juli 2011

Himatika: Dulu, Kini, dan Esok

R. Arif Firdaus Lazuardi-STI 44

Kaum intelektual tidak dicetak untuk menjadi robot. Ia lahir dari ketidakberdayaan dan tumbuh bersama perjuangan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan peradaban bangsa dan negara. Dan kewajibannya pun tidak hanya sekedar berkutat di dalam kelas, belajar dan belajar. Lebih dari itu, seorang kaum intelektual -yang penulis kerucutkan dengan mahasiswa- memiliki keharusan untuk memberikan karya yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Minimal, seorang mahasiswa memberikan yang terbaik untuk dirinya sendiri.


Atas dasar itulah peran sebuah organisasi dalam kehidupan mahasiswa sangat penting. Di kampus kita, ITS, organisasi kemahasiswaan wujudnya beragam dan mewakili berbagai elemen. Dalam lingkup jurusan, dikenal sebuah wadah organisasi yang dinamai Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Wadah dimana para mahasiswa dapat menyalurkan keinginannya untuk berorganisasi.

Himpunan Mahasiswa Matematika (Himatika) merupakah salah satu organisasi yang merepresentatifkan hal tersebut. Sebagai salah satu organisasi yang ada di tingkat jurusan, mayoritas mahasiswa beraspirasi dan mengapresiasikan segala bentuk kreatifitasnya dalam wadah tersebut. Dan sudahkah wadah tersebut berjalan semestinya? Menjadi tempat yang bisa mewakili keinginan mahasiswa. Dan menjadi kebanggaan setiap mahasiswa dalam sejarah hidupnya. Serta memberikan inspirasi tiada henti kepada tiap mahasiswa.

Himatika yang Lalu

Berbicara mengenai sejarah, tentu tidak berujung. Keterbatasan literatur dan cerita dari pelaku sejarah menjadi kendala bagi seorang yang ingin menggali kisah dan kenangan di dalamnya. Penulis bukanlah bagian dari sejarah itu, dan tidak mewakili begitu banyak referensi yang bisa menjadi sumber utama untuk digali kearifannya.

Paling tidak, penulis merasakan, melaksanakan, dan menganalisa kehidupan dalam himpunan saat masih menjalani proses calon -kader anggota himpunan. Penulis melihat kondisi himpunan yang tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Kesenjangan sosial, peng-kotak-an kasta, secara tidak langsung terjadi pada lingkup masyarakat himpunan. Seringkali pertanyaan timbul, tapi tak ada jawaban yang logis dan dapat diterima. Sebenarnya penulis sangat mengharapkan penjelasan dari para anggota himpunan yang lebih senior, tapi yang didapat hanyalah kekakuan dan kesombongan.

Akhirnya kesan yang ada adalah sebagian orang-orang himpunan saat itu adalah orang-orang yang konservatif (kolot), yang hanya melaksanakan segala bentuk kegiatan berdasarkan tradisi tanpa memaknai lebih dalam esensinya. Dan mereka pun terjebak dengan kekolotannya tanpa mau membuka sedikit ke-legowo-an dan pemikiran yang terbuka atas kondisi yang ada.

Mahasiswa baru (Maba) yang kritis terhadap keadaan seringkali diidentikan dengan para pembangkang atau pemberontak, yang jika memang tidak suka, dipersilahkan untuk mengambil jalan lain. Maka, kader-kader yang tersisa adalah kader-kader yang ada karena keterpaksaan atau ketidakmampuan untuk keluar dari belenggu pembodohan dan pemaksaan kehendak.

Dengan begini, penulis bisa membayangkan bagaimana kondisi himpunan ke depan. Karena mereka yang lalu adalah mereka untuk masa depan. Dan apa yang dilakukan dahulu tidak akan jauh berbeda dengan yang akan dilakukan kelak.

Bagaimana Saat Ini?

Kondisi kehidupan kampus saat ini sangatlah nyaman dengan segala fasilitas lengkap yang membuat mahasiswa betah berhari-hari lamanya di kampus. Kelas ber-AC, ruang himpunan yang dilengkapi ragam fasilitas, sinyal wi-fi dimana-mana, dsb. Menjadikan mahasiswa lupa akan keharusannya untuk tetap peka dan peduli terhadap segala permasalahan, baik yang terjadi di lingkungan terdekat maupun yang lebih luas. Isu kenaikan SPP, kaderisasi diharamkan untuk mahasiswa baru di tahun pertama, hingga hal yang berkaitan langsung dengan mahasiswa pun (amandemen Mubes III) seakan menjadi barang yang tidak menarik dan tidak perlu diambil pusing.

Wajar saja jika hal ini terjadi, karena kenyamanan tersebut sudah merasuk di tiap individu mahasiswa. Sehingga timbulah pemikiran pragmatis yang membuat mahasiswa bisu dan acuh dengan kondisi sekitar. Belum lagi ditambah dengan kegiatan akademik yang membuat mahasiswa tidak memiliki waktu luang untuk memikirkan kegiatan di luar kepentingan kuliahnya.

Hal ini akhirnya berpengaruh pada model kepengurusan himpunan dalam menjalankan roda aktifitas kemahasiswaannya. Program kerja (proker) yang menjadi senjata himpunan dalam ke-eksis-annya tidak tajam kembali. Karena ketumpulan pemikiran para pelaku proker yang melaksanakan kegiatan tersebut, hanya dipenuhi rasa sebatas menjalankan proker, ketika usai kegiatan selesai sudah segala perkara. Atau lebih kasar penulis sebut, “yang penting prokernya jalan”. Sehingga esensi mengapa proker itu ada tidak pernah didiskusikan dan dikaji secara mendalam. Alhasil, meskipun semua proker-proker hebat berhasil dilaksanakan. Mahasiswa tidak banyak mendapatkan manfaat darinya, mungkin hanya cerita lucu dan pengalaman pahit ketika menghadapi permasalahan dalam proker tersebut, selebihnya tidak begitu dipahami dan dimengerti.

Mungkin himpunan hanya dijadikan wadah untuk melampiaskan emosi individu dan kepentingan pribadi mahasiswa. Bukan pengabdian total yang dilakukan demi terciptanya pribadi yang baik dan asas kebermanfaatan yang langsung dirasakan oleh orang luar selain dirinya.

Sebenarnya di titik inilah peran mahasiswa senior mengingatkan kondisi yang telah menyimpang dari tujuan awal. Tapi sayang, tidak begitu banyak senior yang paham dan sadar betul posisinya sebagai anggota himpunan untuk terus mengontrol keadaan dan menjadi penyeimbang suhu jika terjadi suatu kondisi yang tidak semestinya terjadi, meskipun masa kepengurusannya telah lewat. Dan penulis pikir, hal inilah yang terjadi di beberapa tahun terakhir, jika keadaan yang seperti ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan bahwa kekeroposan kader Himatika terus bertambah dan tinggal menunggu waktu ketika pondasi Himatika tidak kuat lagi menampung beban.

Cita Himpunan kelak!

Berbicara masa depan, berarti berbicara mengenai regenerasi. Bagaimana kita bisa menjadi dan menghasilkan kader yang memiliki pemahaman kuat terhadap himpunan, loyalitas tinggi, dan dedikasi tiada tara kepada himpunan hingga kelak mereka mampu dan mau memberikan semua yang dimilikinya untuk kemajuan Himatika?

Jelas bahwa tiap mahasiswa memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Disinilah peran himpunan untuk memberikan kesempatan pada tiap mahasiswa untuk mengenal dan mengembangkan potensi masing-masing. Harapannya kelak adalah para mahasiswa mengerti kadar personal dan bisa memiliki suatu cita dan harapan berdasarkan kemampuan yang dimiliki.

Jika sudah diketahui potensi diri mahasiswa, akan menjadi mudah bagi pengurus himpunan untuk merancang suatu kegiatan, baik intra maupun ekstra kampus. Yang berujung pada pengabdian totalitas kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Dari pemikiran tiap mahasiswa yang berhimpun itu, akan timbul sebuah kesadaran nurani tentang hakikat sesuatu yang dikerjakan.

Maka usaha penulis kelak adalah membuat suatu konsep kaderisasi yang mampu merealisasikan kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Semisal keteladanan yang diberikan mahasiswa senior di himpunan, menghargai kebebasan berpikir tiap mahasiswa, dan menanamkan mental berani berpendapat dan berkreasi serta rasa tanggung jawab yang besar terhadap setiap permasalahan. Dengan metode seperti itulah akan lahir calon penerus generasi bangsa yang memiliki daya juang tinggi dan tidak gampang terpengaruh oleh keadaan yang melemahkannya.

Sedang untuk mempertajam ‘taring’ himpunan, perlu diadakannya suatu kegiatan yang meningkatkan kemampuan intra dan ekstra personal anggota himpuan. Perluasan wawasan dan ketajaman intelektual adalah modal utama untuk bisa bertahan dari terpaan angin yang kencang. Diskusi-diskusi, kepekaan sosial, dan inisiatif individu harus dibudayakan agar tercipta suatu iklim himpunan yang kondusif, dimana mahasiswa yang bergerak di dalamnya adalah mahasiswa yang kreatif, inovatif, dan solutif yang mampu berprestasi. Tentunya prestasi tidak hanya diukur dari banyaknya kertas bertanda tangan dan piala yang bergelantungan. Melainkan keikhlasan para anggota himpunan untuk terus bekerja dan mengabdi kepada masyarakat tanpa mengharapkan pamrih sedikit pun, itu adalah prestasi di atas luar biasa.

“TUNDUK TERTINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN. KARENA MUNDUR ADALAH PENGKHIANATAN”

Dalam kos, 10 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dicantumkan nama ya..kalo mau ngasih komentar..trims