Halaman

Jumat, 29 Juli 2011

Mungkin, Ini Cara Tuhan Mendidik Manusia

R Arif Firdaus Lazuardi-Langkah Awal ITS

 "Mendidik manusia dengan kekhawatiran dan ketakutan……
Menggenggam kebersahajaan dengan kegagalan dan kekecewaan…….."

Beberapa dari kita, lebih mementingkan dan melihat, tentang apa yang dapat dicapai, berhasil atau tidak. Bukan dari bagaimana proses yang dijalani, hingga ia dapat mencapai yang diinginkannya. Maka, tak ayal seringkali kita terjebak dengan kondisi hasil yang ada, hingga berlarut-larut memikirkan tentang suatu hal yang harus dilakukan agar hasil yang didapat sempurna. Bahkan, kita pun terkesan menggunakan segala cara –entah baik atau jelek- untuk meraih hasil yang diinginkan. Dan parameter keberhasilan pun begitu pula adanya. Tergantung hasil akhir yang ada.


Dalam dunia pendidikan formal, misalnya. Seorang anak dikatakan cerdas apabila ia memiliki nilai rapor yang tinggi. Atau seorang mahasiswa dinobatkan cumlaude, jika indeks prestasinya di atas 3,5 (skala 4). Sehingga, tiap individu manusia berlomba-lomba untuk bisa meraih posisi yang demikian. Hal ini tidak hanya berlaku pada peserta didik saja. Elemen lainnya pun –guru, dosen, orang tua- yang turut mendukung dalam dunia pendidikan ini terseret arus yang serupa.

Sang guru bersusah payah berjuang agar siswanya dapat lulus ujian nasional dengan nilai yang tinggi. Jika melalui proses belajar yang seharusnya, mereka –para siswa- tidak dapat mengejar ketertinggalannya mencapai nilai tinggi. Maka, cara-cara lain pun menjadi halal untuk dilakukan, seperti yang lazim dilakukan para guru saat ini, mengerjakan soal-soal unas terlebih dahulu dan kunci jawabannya diberikan kepada para siswa. Dan lebih celakanya lagi, tindakan yang seperti ini -seakan- didukung oleh PB PGRI dan tidak menyalahkan guru yang berbuat demikian (Jawa Pos, edisi 16 April 2011). Karena posisi guru yang dilematis, di satu sisi menginginkan muridnya berlaku jujur, sedang di sisi lain struktural pendidikan (dari kepala sekola hingga dinas pendidikan) menargetkan kelulusan di atas 90 persen. Tapi, secara garis besar, oknum-oknum yang berbuat demikian termotivasi oleh hasil akhir yang harus dicapai.

Sang dosen senada dengan guru. Agar para mahasiswa dapat mencapai IP tinggi. Kebijakan pun dibuat kian beragam. Dari peniadaan kegiatan mahasiswa di luar akademik. Doktrin yang mengharuskan mahasiswa untuk terus berkutat dengan buku-buku formal kurikulum. Hingga pernyataan yang keluar bahwa mereka –mahasiswa- berada dalam kampus, tujuan utamanya adalah kuliah. Seakan-akan aktivitas di luar kuliah adalah sesuatu yang tidak penting dan tidak berguna. “Belajar yang rajin! Usahakan dapat IP lebih dari 3. Agar kelak mudah dalam melamar pekerjaan,” kalimat seperti inilah yang sering kita dengar dari para dosen.

Lantas bagaimana sikap orang tua? Tentu tidak demikian, tidak jauh berbeda maksudnya. Sang Ayah berjanji akan memberikan apa yang diinginkan oleh buah hati jika berhasil memenuhi syarat yang ditentukan, misal mendapatkan ranking 1 di kelas. Begitu pula sang Ibu akan lebih bangga bercerita kepada rekan-rekannya di PKK, apabila anaknya adalah mahasiswa terpintar di kampus dan lulus dengan waktu yang singkat (3,5 tahun). Ucapan yang sering terlontar pun, “belajarlah yang pintar, biar bisa kuliah, lulus cepat, dapat kerja, dan bergaji tinggi.”

Dan mata rantai seperti ini tidak hanya berkutat pada peserta didik, guru, dosen, ataupun orang tua. Mayoritas perusahaan menerima calon karyawannya dengan ukuran nilai akademis tinggi. Dan bagi mereka yang memiliki strata pendidikan lebih tinggi, tentu lebih besar peluangnya untuk menjadi pegawai dan gaji yang besar. Para dermawan pemberi beasiswa juga –seiya sekata-, hanya mau memberikan belas kasihnya kepada siswa/mahasiswa yang berprestasi akademis tinggi. Lalu masih banyak lagi efek dari tolak ukur hasil akhir ini dalam kehidupan sehari-hari kita.

Satu contoh efek lain dari mata rantai ini adalah, hanya yang cerdas dan yang memiliki kemampuan finansial tinggi yang mampu mengenyam pendidikan yang layak. Dan sebaliknya, bagi mereka yang bodoh dan miskin akan terus berkutat dalam lingkaran kemiskinannya –miskin harta, miskin ilmu. Dan menjadi kaum-kaum yang termarginalkan dalam suatu kota. Uang dan pintar adalah syarat mutlak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan unggul. Yang pada akhirnya hanya mencetak lulusan-lulusan yang berorientasi pada angka-angka

Tentu tidak semua seperti itu –hanya sebahagian besar saja- dan pula tidak salah. Memang demikianlah yang harus dilakukan. Agar setiap manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi, paling tidak sebagai manusia terpelajar, hendaknya kita harus mampu berpikir dan berbuat adil. Sehingga mereka-mereka yang tidak mampu menjadi no. 1 dalam bidang akademik tidak mendapat perlakuan yang berbanding terbalik dengan yang ada saat ini. Mereka juga manusia, yang dianugerahi kekurangan dan kelebihan yang berbeda-beda oleh Tuhan. Bukan untuk saling menjatuhkan antara satu dengan lainnya. Justru, yang ada saling melengkapi dan menyempurnakan.

Mungkin, memang demikianlah cara Tuhan mendidik manusia. Ia ciptakan ketakutan dan kekhawatiran –akan berhasil atau tidak- agar manusia terus berusaha dan sadar diri. Lantas mawas dengan setiap keadaan dan mampu mengambil hikmah di setiap kegagalan dan kekecewaan. Dan hanya bagi merekalah yang tidak berputus asa dalam berjuang, akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Karena Tuhan tidak menilai akan apa yang sudah kita hasilkan (kalau baik=1, kalau jelek=0). Melainkan apa usaha kita dalam mewujudkan hasil itu. Dan tidak ada usaha yang sia-sia, semua memiliki hasil dan kearifan. Bahkan daun-daun yang berguguran pun, itu juga merupakan rancangan-Nya yang harus terjadi.

Penulis berpikir, kalaulah saja uang tidak menjadi simbol keberadaan dan pintar bukan didasarkan pada angka-angka tinggi. Akankah hakikat pendidikan kembali kita temui?

Palembang, 18 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dicantumkan nama ya..kalo mau ngasih komentar..trims