Halaman

Jumat, 29 Juli 2011

Petite Histoire Himatika

R. Arif Firdaus Lazuardi –STI 44

Petite histoire–sejarah kecil, begitulah Rosihan Anwar—wartawan senior, kolumnis, sejarawan ‘kaki lima’ menyebutnya. Sejarah kecil itu kadang terlupakan oleh kebanyakan orang. Padahal dari sejarah kecil itulah timbul sejarah-sejarah besar yang menjadi catatan dunia.


Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 telah terbingkai dalam sejarah. Sejarah bagi bangsa Indonesia; bagi rakyat, bagi mahasiswa, bagi penguasa. Sejarah perjuangan rakyat dalam mempertahankan haknya, sejarah pergerakan mahasiswa dalam menggulingkan rezim diktator, sejarah untuk mendidik para penguasa yang pongah dengan segala wewenang dan kuasanya; yang bermewahan di atas ribuan buliran keringat kaum miskin dan kaum papa.

Beberapa tahun setelahnya, sejarah itu menyatu di setiap sendi kehidupan mahasiswa. Pada zaman dimana kebenaran tidak banyak diimpikan, kisah itu terus didengungkan dan dibanggakan. Seakan menjadi milik bersama, seakan menjadi kenangan bersama. Setiap sejarah yang ada selalu menimbulkan kisah tersendiri bagi setiap pemerhatinya. Semangat yang muncul dari sejarah adalah jiwa yang menyatu dengan para pelaku sejarah, kemudian akan lahir keinginan untuk menciptakan sejarah sendiri. Lantas hadirlah pelaku-pelaku sejarah baru guna menginspirasi sejarah berikutnya. Dengan begitu, sebuah sejarah pun terukir. Sejarah adalah proyeksi masa depan.

Sejarah dalam Eksotisme

Malam itu bermula di sebuah warung kopi sederhana. Dengan kepulan asap rokok dan segelas teh perbincangan mengalir lancar, mencoba menguak beberapa petite histoire tentang Himatika—organisasi yang telah melahirkan 45 generasi saintis. Mas Teguh, alumni Himatika angkatan 2002, bertutur kisah tentang Himatika dengan santai dan penuh makna. Beberapa nama pelaku sejarah disebutkan, Mbak Tita; seorang aktivis gerakan ITS, Mas ‘Botol’; aktivis himpunan yang loyal, Mbak Putri; Kahima 2003 hingga Mas Fajar; Kahima 2004. Semakin malam, semakin terbuka beberapa tirai sejarah.

Mas Teguh mengawali kisah dengan pergerakan mahasiswa di tahun 1998. Pasca reformasi, mahasiswa baru yang masuk setelah masa itu memang dipersiapkan untuk menjadi mahasiswa yang berani melawan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung rakyat dan sadar kapan waktu mahasiswa untuk memberikan perlawanan. Materi-materi kaderisasi semisal hakikat manusia, hakikat mahasiswa, dan hakikat perlawanan telah menjadi ruh pengkaderan ITS.

Kegelisahan para aktivis era itu tentang rusaknya moral Sarjana Teknik yang sekedar menjadi robot dan budak kapitalisme membuat mereka jengah dan ingin mendobrak paradigma yang berlaku. Mahasiswa Baru (Maba) menjadi harapan besar untuk bisa merubah situasi yang ada, ideologi pun ditanamkan. Hingga sampailah saat ini kita merasa betapa beratnya sebuah proses kaderisasi.

Waktu berlalu dengan segala kebijakannya, Himatika tidak lagi memberikan materi pengkaderan serupa. Entah bagi para pengurus Himatika, hal itu sengaja dilupakan atau memang mereka tidak paham esensi yang terkandung di dalamnya. Bisa juga, Maba yang saat itu—masih sebagai junior—hanya mengingat kejadian-kejadian yang kasat mata dan menjiplaknya saat menjadi “senior”. Misalnya ketika para senior memberi materi hakikat perlawanan; Maba dibentak, dicemooh, hingga ditampar oleh orang yang lebih berkuasa, harapannya adalah Maba menyadari bahwa ia ditindas dan berani untuk memberikan perlawanan sebagai bentuk ekspresi penolakan keadaan, dengan menyandang nilai-nilai hakikat mahasiswa.

Tapi sayangnya, ketika Maba tersebut menjadi pengurus di kemudian hari, yang diingat hanyalah simulasi materi tanpa mengkaji substansi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ruh pengkaderan dari tahun ke tahun mengalami distorsi. Namun di saat generasi selanjutnya memberikan reaksi perlawanan dan akhirnya bertanya kebingungan, “ini pengkaderan atau perpeloncoan?” Saat itu—mungkin, para senior mencoba menutup diri dibalik jawaban kekakuan dan kesombongan.

Dengan sedikit menyeruput teh untuk sekedar melepas dinginnya malam. Tema pun berlanjut ke topik yang berbeda. Di waktu Mas Teguh menjadi koordinator instruktur pengkaderan, ia sempat menggali keterangan dari sumber pelaku sejarah 1998. Tentunya terkait konsep seperti apa yang masih relevan dan sesuai dengan mahasiswa baru yang akan masuk. Tersimpulkan, bahwa sistem yang berlaku saat ini sudah tidak relevan lagi bagi mahasiswa. Karena masa-masa pendidikan dengan kekerasan—Hakikat manusia—sudah tidak efektif bahkan terkesan negatif di mata masyarakat, apalagi di kalangan mahasiswa saat ini. Mas Teguh diharapkan mampu membuat sebuah konsepsi baru yang cocok dengan generasi dan zamannya. Namun, hal tersebut belum sempat diwujudkan karena membutuhkan pendalaman pikiran dan tentunya waktu yang tidak sedikit. Sedangkan mahasiswa baru, beberapa bulan lagi sudah menapakkan kakinya di ITS.

Zaman dan eksotismenya

Mau tidak mau, realitas yang terjadi saat ini memang membutuhkan sebuah konsepsi anyar. Tentunya dengan melahirkan kader-kader yang siap berjuang pada zamannya. Kaum intelektual—sebutan Bung Karno bagi mahasiswa—harus mampu menciptakan sebuah karya. Karena karya merupakan sandingan yang eksotis bagi sebuah peradaban yang bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak orang.

Timbullah sebuah pemikiran untuk merealisasikan hal tersbebut; Pertama, dengan menghancurkan keberadaan sebuah konsep secara keseluruhan (yang lalu) dan membangunnya dari titik nol; seperti yang dilakukan oleh Gandhi dalam membangun budaya perdamaian di India. Kedua, dengan cara melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengkolaborasikan dengan inovasi yang baru, seperti pepatah arab alhifdzhu ‘ala al qadiimi as shoolih wa al akhdu bi al jadiidi al ashlahi. Atau yang ketiga, dengan kembali pada nilai-nilai dasar yang ada: restorasi nilai, seperti megahnya restorasi Republik Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Zedong.

Semua tergantung atas kesepakatan teman-teman himpunan yang menjadi pengurus saat itu, pastinya berlandaskan asas kekeluargaan dan kebersamaan untuk merajut sebuah konsepsi yang layak dan tepat pada zamannya.

Puluhan puntung rokok seakan belum cukup untuk menguak lebih dalam petite histoire Himatika, tentunya masih banyak misteri yang belum tersibak. Paling tidak, kita memiliki gambaran umum tentang nilai-nilai sejarah, untuk sebuah kata yang bernama ‘masa depan’; tentang upaya untuk menghadirkan karya-karya baru yang mutlak dibutuhkan masyarakat sebagai simbol sebuah peradaban.

Sejarah merupakan proyeksi masa depan. Sejarah adalah bentuk-bentuk perlawanan. Sejarah adalah kita di masa lalu untuk masa yang akan datang.

“Karya adalah kegelisahan. Semakin gelisah seseorang; semakin tinggi emosinya untuk berkarya. Bergelisahlah terhadap segala sesuatu; sosial, budaya, lingkungan. Sebab karya adalah bentuk perlawanan yang eksotis.” -AFL-

Surabaya, 15 Juni. Dalam renungan senja.

1 komentar:

Mohon dicantumkan nama ya..kalo mau ngasih komentar..trims