Halaman

Jumat, 29 Juli 2011

Jangan Tidur Lama-Lama Kawan

Catatan Kritis Pilrek ITS 2010

Untuk membuat tulisan ini, saya harus berpikir keras terlebih dahulu, bekerja keras pula, bahkan sempat beraksi keras juga. Harapannya sih, sederhana saja, agar apa yang saya tuliskan kelak tidak terlalu keras dan berakibat keras. Karena semua jenis kekerasan sudah saya kuras habis tenaganya di awal proses pembuatan tulisan. Jadi, pembaca tinggal menikmati sisa-sisa kekerasan yang ada dan melihatnya dengan indah dari sudut pandang yang berbeda.


Harusnya liburan hari raya mahasiswa ITS kali ini, menjadi moment liburan yang paling berharga. Bagaimana tidak, kita diberi waktu merenung lebih dalam untuk menentukan bakal calon rektor (bacarek) yang kita pilih. Harapannya jelas, agar kita tidak salah pilih rektor yang kelak akan memberi warna ITS dan kehidupan mahasiswa tentunya. Sayang, kesempatan ini tidak berjalan sesuai realita. Justru karena liburan yang lumayan panjang inilah, mayoritas mahasiswa kita lupa, kalau nanti begitu kita masuk awal kuliah. Langsung berhadapan dengan bilik suara.

Di sinilah awal kelucuan drama mahasiswa ITS terjadi. Beberapa waktu, saya bertanya kepada teman diskusi saya tentang profil bacarek ITS. Ternyata ia tidak tahu, jangankan profilnya, nama dari 11 bacarek pun ia tak tahu. Saya semakin sadar, pasti ini tidak berlaku untuknya saja. Saya pun mencoba untuk menggali beberapa informasi dari kawan lainnya. Ternyata jawaban sama, mayoritas mereka tidak tahu profil bacarek ITS, apalagi mahasiswa baru. Nah, saya pun tak tahan menahan tawa. Pasti hari awal masuk kuliah setelah liburan, yang notabene hari pertama juga mahasiswa menetapkan piihannya. Akan menjadi hari ratusan mahasiswa ‘mengambil kucing dalam karung’.

Lebih kaget lagi, karena saya juga mendapatkan informasi baru. Bahwa cara memilih bacarek ITS dengan ‘menulis’ bukan mencoblos layaknya pemira lalu ataupun mencontreng seperti pemilu Indonesia. “Hal ini tidak bisa dibiarkan, masak ITS yang katanya ‘Go World University’ tata cara penjaringan suara kembali ke masa lampau,” saya berkata dalam hati. Akhirnya, saya dan beberapa teman sepakat untuk beraspirasi. Meminta penjelasan kenapa seperti itu dan ingin memberi masukan.

Agak bingung juga mulanya, kepada siapa kita harus menyampaikan aspirasi. Usut punya usut ternyata gawe Pilrek ITS digawangi oleh PPCR (Panitia Pemilihan Calon Rektor) yang memberikan amanah kepada BEM ITS.Lalu badan eksekutif itu melalui Kemendagri membentuk Pokja (Kelompok kerja) Pilrek ITS. Selintas, saya berpikir Pokja inilah yang menjadi kelompok independen mahasiwa yang menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa dalam pilrek. Lantas, Ahad pagi (19/9) kami pun berkeinginan untuk berdiskusi dengan pokja beserta jajarannya.

Ternyata, Saya ragu atas ke-independen-an Pokja Pilrek ITS. Karena di awal kami ingin berdiskusi, ia (ketua Pokja) menunda waktu dengan alasan ada janji dengan PPCR. Padahal ketika itu, berkumpul lumayan banyak beberapa mahasiswa dari berbagai jurusan yang mungkin juga ingin beraspirasi. Hemat saya, kalau saja waktunya tertunda, tidak akan ada lagi moment yang seperti ini. Tapi, kawan saya yang satu ini berpendirian keukeh, ia ingin mendahulukan kepentingan PPCR daripada mendengar aspirasi mahasiswa alias kawannya sendiri. Kami pun sepakat (setelah melalui aksi yang cukup keras juga), akan berdiskusi pukul 12.00, tepat setelah ia menyelesaikan urusannya.

Saya semakin yakin, indepedensi mahasiswa ITS yang diwakili oleh Pokja Pilrek ITS benar-benar dipermainkan. Saat diskusi berlangsung, keyakinan saya tertepis dengan pernyataan yang keluar dari anggota Pokja, bahwa kelompok ini terbentuk memang sebatas OC (panitia pelaksana) dari PPCR. Lebih anehnya lagi OC Pokja Pilrek mampu membuat OC baru di jurusan-jurusan (KPPS). Kawan diskusi saya ber-statement. “Tolonglah, pahami sedikit SK rektor yang menyatakan bahwa Pokja dalam penjaringan suara, independen dan mandiri dalam melaksanakannya.” Ya, sebagai mahasiswa biasa, saya berkesimpulan sebatas inilah kualitas Pokja Pilrek ITS.

Masalah kembali muncul, setelah kami mengetahui bahwa tata cara pemilihan dengan menulis adalah perintah langsung dari PPCR. Dan kotak suara akan disimpan di ruangan Kajur (Ketua jurusan) masing-masing juga inisiatif PPCR. Dan sekali lagi, Pokja menyepakati hal ini, jelaslah sudah bahwa independensi mahasiswa bukan lagi dipermainkan, tapi tidak ada alias mati. Kami pun, sebagai mahasiswa biasa yang kurang kerjaan mengkritisi hal ini. Menuntut dua hal, pertama kotak suara biarlah dijaga oleh mahasiswa sendiri, kedua tata cara pemilihan diganti dengan cara yang lebih ideal, yakni mencoblos, mengingat bahwa pemira lalu menggunakan cara yang sama. Dan terbukti efektif dan prosentase suara yang tidak sah sedikit.

Diskusi alot berlangsung, dari pukul 13.00 hingga 17.00 menghasilkan keputusan Pokja beserta jajarannya akan mengaspirasikan kedua hal itu. Tapi, tuntutan kedua sulit dipenuhi, karena mereka lebih mempertimbangkan fungsi waktu yang tidak memungkinkan, padahal kami berprinsip fungsi hasil yang harusnya diutamakan. Tapi, ada beberapa ucapan bijak dari mahasiswa no.1 ITS, yang menyatakan bahwa dengan lebih melunakkan aturan penulisan nama juga merupakan wujud independensi mahasiswa dalam mengatur kehidupannya. Sehingga muncul keputusan, kalau ada pemilih yang hanya menulis nomor bacarek atau menambahkan atribut (ex: jargon dan gambar) selain nama di kertas pilihan, suara itu tetap sah.

Hari pertama penjaringan suara pun tiba, dengan sigap dan penuh keyakinan saya memasuki bilik suara. Pikiran aneh muncul, ketika melihat daftar bacarek yang nomor urutnya ditulis pakai pena bukan hasil cetak (print). Apa yang akan terjadi kalau nomor urut itu saya coret dan saya acak sesuka hati, “pasti rame nantinya”. Tapi niat itu urung saya lakukan, mengingat pesan dari mahasiswa no.1 ITS, “masak mahasiswa tidak dewasa”.

Selanjutnya, dengan mengucapkan basmalah dan berharap yang terbaik, saya menuliskan nama calon rektor di atas selembar kertas. Seperti ini tulisannya, “xxxxxxx. JANCOK, I luph yu pull Pak”. Saya kira moment inilah yang paling saya suka, karena menunjukkan ke-independensi-an mahasiswa ITS, paling tidak seperti itulah nasihat dari mahasiswa no.1 ITS.

Oh iya, tidak lupa di samping tulisan, saya juga menggambarkan orang-orangan yang berteriak “Vivat ITS....!”. Sebenarnya saya juga ingin menambahkan tulisan “Hidup Independensi Mahasiswa”. Tapi urung saya lakukan, karena urusan hidup-menghidupkan yang sudah mati, itu di luar kuasa saya.

Ditulis oleh: Lazuardi, mahasiswa Matematika ITS 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dicantumkan nama ya..kalo mau ngasih komentar..trims